Larangan Gibah dan Cara Bertaubat dari Dosa Gibah

2021-11-05T09:15:27.000Z

Penulis:Eva Pardiana

Editor:Eva Pardiana

20211105_091747_0000.png
Larangan Gibah dan Cara Bertaubat dari Dosa Gibah

BANDARLAMPUNG – Gibah seolah menjadi perbuatan yang sulit dihindari, khususnya bagi kaum wanita. Membicarakan keburukan orang lain saat berkumpul kerap menjadi kebiasaan. Banyak yang belum menyadari bahwa gibah termasuk dalam dosa besar.

Gibah adalah membicarakan suatu perkara tentang orang lain, dimana orang itu pasti tidak suka jika hal itu dibicarakan, baik hal itu benar ataupun tidak. Sebagaimana yang disampaikan Nabi Muhammad SAW saat ditanya tentang gibah,

ذكرك أخاك بما يكره”، قيل يا رسول الله: إن كان في أخي ما أقول؟ قال: “إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهته

"'Engkau menyebutkan suatu perkara tentang saudaramu yang dia benci untuk disebutkan'. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika perkara tersebut benar adanya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika benar adanya apa yang Engkau katakan itu, maka engkau telah menggibahinya. Jika tidak benar adanya, maka Engkau telah melakukan buhtan (memfitnah)'" (HR. Muslim no. 2589).

Perbuatan gibah diibaratkan seperti memakan bangkai orang lain. Bayangkan betapa buruknya perbuatan ini. Dalam hadis sahih Rasulullah SAW mengatakan bahwa beliau melihat pada malam Isra', suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga. Mereka mencakar wajah-wajah dan dada-dada mereka dengannya. Maka Nabi bertanya tentang mereka. Lalu diberitahukan kepada beliau.

هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم

“Mereka ini orang-orang yang suka memakan daging orang lain (gibah) dan menginjak harga diri orang lain” (HR. Abu Daud no. 4878, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud).

Setiap umat muslim harus berhati-hati dari gibah dan saling menasehati untuk meninggalkannya dalam rangka menaati Allah SWT dan Rasul-Nya. Sesama muslim juga diwajibkan untuk menutupi aib saudara-saudaranya. Karena gibah termasuk sebab munculnya kebencian, permusuhan, dan perpecahan di tengah masyarakat.

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah dari banyak berprasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Janganlah kalian ber-tajassus (mencari kesalahan orang lain) dan janganlah di antara kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah di antara kalian suka untuk memakan daging saudaranya yang telah mati? tentu kalian pasti membencinya. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat: 12).

Cara Bertaubat dari Dosa Gibah

Setelah menyadari bahwa gibah merupakan dosa besar, maka wajib bagi setiap muslim untuk bertaubat. Dikutip dari muslim.or.id gibah merupakan dosa yang berkaitan dengan hak Allah. Sehingga pelakunya dituntut untuk bertaubat dan istighfar, juga menyesal serta bertekad untuk tidak mengulanginya kembali.

Juga berkaitan dengan hak sesama manusia. Sehingga untuk menggugurkan dosa ini, ada syarat selanjutnya yang harus dipenuhi, agar taubatnya diterima dan menjadi sempurna. Terkait syarat tambahan ini terdapat dua pendapat yang berbeda dari para ulama.

1. Cukup Memohonkan Ampunan untuk Orang yang Digibahi

Pendapat pertama mengatakan seorang yang menggibahi saudaranya tebusannya cukup dengan memohonkan ampunan untuk orang yang digibahi. Mereka berdalil dengan hadis,

كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته

Tebusan gibah adalah engkau memintakan ampun untuk orang yang engkau gibahi.”

Hikmah dari permohonan ampun untuk orang yang diginahi ini adalah, sebagai bentuk tebusan untuk menutup kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang yang digibahi. Jadi tidak perlu mengabarkan gibahnya untuk meminta kehalalan kepada orang yang digibahi.

Pendapat ini dipegang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, murid beliau Ibnul Qayyim, Ibnu Muflih, as-Safarini dan yang lainnya. Bahkan Ibnu Muflih menukilkan dari Ibnu Taimiyyah bahwa pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Mereka menguatkan pendapat ini dengan tiga alasan:

  • Mengabarkan gibah kepada orang yang digibahi akan menimbulkan dampak negatif (mafsadah) yang tak dapat dipungkiri, yaitu akan menambah sakit perasaannya. Karena celaan yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dicela lebih menyakitkan ketimbang celaan yang dilakukan dengan sepengetahuan orang yang dicela. Dia mengira orang yang selama ini dekat dengannya dan berada di sekelilingnya, ternyata dia telah merobek-robek kehormatannya di balik selimut.
  • Mengabarkan gibah kepada orang yang digibahi akan menimbulkan permusuhan. Karena jiwa manusia sering kali tidak bisa bersikap obyektif dan adil dalam menyikapi hal seperti ini.
  • Mengabarkan gibah kepada orang yang digibahi akan memupuskan rasa kasih sayang diantara keduanya. Yang terjadi justru semakin menjauhjan hubungan silaturahim.

2. Harus Ada Usaha Meminta Maaf

Pendapat kedua menyatakan, memohonkan ampunan saja tidak cukup. Akan tetapi harus ada usaha meminta maaf atau kehalalan kepada orang yang dihibahi, agar taubatnya diterima di sisi Allah.

Dan bagi pihak yang digibahi sebaiknya memaafkan saudaranya yang meminta kehalalan karena telah menggunjingnya. Agar ia mendapatkan pahala memaafkan kesalahan orang lain dan keridoan Allah terhadap orang-orang yang pemaaf.

Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah, Syafi’i, Malik dan riwayat dari Imam Ahmad (ketika membahas permasalahan qadzaf (tuduhan palsu); apakah diharuskan menceritakan tuduhannya kepada orang yang telah dituduh, dalam rangka meminta kehalalannya, atau tidak perlu diceritakan).

Ulama yang menguatkan (merajihkan) pendapat ini adalah al-Ghazali, Qurtubi, Imam Nawawi dan ulama-ulama lainnya yang sependapat dengan mereka.

Mereka berdalil dengan hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, yang mana beliau mengatakan, Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudia dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2449)

Dari hadis tersebut mereka menyimpulkan, gibah adalah dosa yang berkaitan dengan hak manusia. Maka dosa tersebut tidak bisa gugur kecuali dengan meminta kehalalan dari orang yang telah ia zalimi.

Wallahu a'lam bish-shawab.