Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan kebutuhan pendanaan yang untuk komitmen kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) dari porsi hibah diharapkan sebesar 10% hingga 15% atau sebesar US$1,5 miliar hingga US$2 miliar (Rp29 triliun) dari total kebutuhan US$20 miliar (Rp290 triliun).
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjelaskan transisi energi ini butuh biaya yang besar dan memerlukan bantuan hibah. Jika pemerintah hanya mematok angka yang kecil akan sangat sulit menembus transisi energi dalam waktu cepat.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, besaran dana hibah (grant) dan bantuan teknis (technical assitant) yang akan dialokasikan untuk komitmen kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) sekitar US$160 juta atau setara dengan Rp2,4 triliun (asumsi kurs Rp15.000 per dolar AS).
“Kalau hanya US$160 juta itu sangat tidak memadai, minimun komposisi dari dana IInternational Partners Group (IPG) 10%-15% dalam bentuk hibah karena menghitung kebutuhan beberapa komponen dalam proyek transisi energi. Untuk mencapai target 2030 dibutuhkan senilai US$1,5 miliar hingga US$2 miliar,” katanya
.Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan, pada implementasinya pemerintah harus meyakinkan pihak pendonor untuk mencairkan dana tersebut. Padahal target pemerintah untuk pengalokasian pendanaan JETP senilai US$20 miliar atau setara dengan Rp300 triliun.
"Nanti ada yang pasti US$10 miliar commercial loan, rate-nya belum tahu sampai sekarang tapi dalam tone memberikan support," katanya.
Proyek Transisi Energi
Dirjen EBTKE ini mengatakan, melalui JETP pemerintah akan fokus mendanai sejumlah proyek transisi energi di Tanah Air berupa pemensiunan pembangkit batubara (PLTU), Energi Baru Terbarukan (EBT), peningkatan efisiensi energi, elektrifikasi, dan transmisi.
Namun, ia memastikan, proyek teknologi penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization and storage (CCS/CCUS) tidak masuk dalam skema pendanaan JETP ini.
Nantinya seluruh program tersebut akan tertuang dalam Comprehensive Investment Plan (CIP) yang akan segera diumumkan Agustus 2023 mendatang.
Berapa Dana yang Perlu Digelontorkan?
Fabby mengatakan, berdasarkan hasil kajian IESR kebutuhan pendanaan untuk transisi energi hingga 2050 atau jika ingin sesuai dengan target Perjanjian Paris, investasi yang harus digelontorkan Indonesia senilai US$1,3 triliun atau rata-rata US$30 miliar - US$40 miliar setiap setahun. Sedangkan, jika hanya sampai 2030 dibutuhkan paling tidak US$130 miliar.
Pendanaan ini nantinya bisa digunakan untuk pemensiunan dini PLTU, lalu untuk menggenjot Energi Baru dan Terbarukan (EBT) serta proses transisi yang berkeadlian (Just Transition).
Namun kembali lagi kata Fabby, untuk pemensiunan dini PLTU tetap harus melihat seberapa besar kapasitas PLTU yang ada. Fabby menghitung, jika kurang dari 8 GW dipensiunkan dan beberapa PLTU dipensiunkan dini maka dibutuhkan dana US$4 miliar hingga US$5 miliar.
Mak alokasi dana hibah pada JETP sangat perlu didorong pemerintah Indonesia untuk segera mendapatkan realisasi bukan hanya sekadar komitmen tanpa kejelasan.
Apalagi setelah pemensiunan pembangkit batu bara, Indonesia juga harus menggenjot pembangunan pembangkit energi baru terbarukan secepat mungkin. Jika berdasarkan target JETP di mana pemanfaatan energi terbarukan setidaknya 34% dari seluruh pembangkit listrik pada 2030, maka dibutuhkan 45 GW EBT.
Lebih lanjut Fabby mengungkapkan, jika nanti dana hibah dari skema JETP terasa terlalu kecil, Indonesia dan International Partners Group (IPG) dapat bernegosiasi setelah Comprehensive Investment Plan (CIP) rampung. (*)