Heboh Sembako Kena PPN, Ini Penjelasan Ditjen Pajak

2021-06-10T10:06:05.000Z

Penulis:Yunike Purnama

harga-beras-indonesia.jpg
Ilustrasi sembako komoditas beras.

Kabarsiger.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menyatakan, belum ada keputusan final terkait pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap sembako.

Begitu juga dengan skema PPN yang baru yang akan diterapkan pemerintah mulai tahun depan.

"Perlu kami sampaikan bahwa sampai saat ini rancangan mengenai tarif PPN masih menunggu pembahasan, " kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Kemenkeu Neilmaldrin Noor pada Rabu (09/06/2021).

"Begitu juga dengan skema yang mengikutinya masih dalam pembahasan, " imbuhnya.

Saat ini, masyarakat dihebohkan dengan kabar rencana pemerintah memungut PPN dari sembako.

Rencana itu tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Dalam draf beleid tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Dengan penghapusan itu berarti barang itu akan dikenakan PPN.

Dilansir dari Kompas, Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) pun berencana menyampaikan protes kepada Presiden Joko Widodo.

Lantaran kondisi para pedagang sudah sulit selama masa pandemi, karena omset menurun hingga 50 persen.

Apalagi, dari daftar yang beredar, sembako yang akan dikenakan PPN adalah yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari.

Seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Senin, (24/05/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyinggung tentang skema PPN multitarif.

Yaitu skema yang memberlakukan perbedaan besaran tarif PPN.

Untuk barang-barang dan jasa yang diperlukan orang banyak dan sifatnya kebutuhan, biasanya dikenai tarif PPN yang lebih rendah dibandingkan dengan barang dan jasa yang sifatnya bukan kebutuhan pokok.

"Kita melihat PPN menjadi sangat penting dari sisi keadilan atau jumlah sektor yang harus tidak dikenakan atau dikenakan. Ada multi tarif yang mungkin menggambarkan afirmasi," kata Sri Mulyani.

Sedangkan skema lainnya adalah skema tarif tunggal.

Artinya, hanya ada 1 tarif yang berlaku untuk pungutan PPN.

Sistem inilah yang dianut Indonesia saat ini, yakni dengan tarif PPN sebesar 10 persen.(*)