ESG: Gambaran Umum, Indikator hingga Ruang Lingkup ESG (Part 1)

2023-08-20T17:33:29.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Redaksi

1645714173204.jpg

JAKARTA - Isu ESG (Environmental, Social, and Governance) telah menjadi perhatian serius dunia internasional, tak terkecuali Indonesia, dalam dua dekade terakhir.

Pada tahun 2004, Indonesia resmi meratifikasi Protokol Kyoto yang memiliki konsern pada isu perubahan iklim. Setelah itu, Indonesia menandatangani Perjanjian Paris 2015 pada tahun 2016 yang merupakan kesepakatan global dalam merespons perubahan iklim.

Peta jalan reformasi kebijakan investasi berkelanjutan di tanah air mulai gencar dilakukan beberapa tahun terakhir yang kemudian dipayungi oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law). 

Di sektor keuangan dan pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia adalah dua lembaga yang meletakkan dasar penerapan dan prinsip-prinsip ESG.

Secara global dalam dua dekade terakhir, investasi perusahaan di dunia dengan orientasi ESG mengalami kenaikan yang sangat pesat. 

Dalam acara Mandiri Investment Forum 2022, Aniket Shah, Managing Director and Global Head of ESG Jefferies, mengatakan ada tren kemunculan konsep ESG Investing dari investor institusional secara global. 

Jumlah modal internasional yang selaras dengan prinsip-prinsip PBB untuk melakukan investasi yang bertanggung jawab dalam 15 tahun terakhir naik drastis dari US$30 triliun pada 2014 menjadi US$100 triliun pada 2020. 

Data yang dilihat pada indikator Principles for Responsible Investment (PRI) ini menggambarkan bahwa investor ingin menyelaraskan investasinya dengan ESG.

Selama beberapa tahun terakhir, juga terjadi peningkatan lain pada inisiatif yang penting yang dikenal sebagai Net Zero Asset Managers Initiative. Ini adalah sebuah kelompok berisikan 220 penandatangan dengan investasi US$57 triliun untuk menyelaraskan portofolio mereka dengan Net Zero hingga tahun 2050. 

Di Asia sendiri setidaknya ada lebih dari 5.000 investor yang tertarik menanamkan dananya ke perusahaan-perusahaan yang mengedepankan prinsip berkelanjutan atau yang berbasis ESG.

Akselerasi ini didorong oleh kesadaran investor dan eksekutif bahwa ESG yang kuat dapat menjaga kesuksesan jangka panjang. 

Berbagai penelitian juga menemukan bahwa perusahaan yang memperhatikan aspek ESG berkorelasi dengan pengembalian ekuitas yang lebih tinggi. 

Dilansir dari Dapen Telkom, sebanyak 88% perusahaan yang diteliti memperlihatkan korelasi yang positif akan kinerja operasionalnya saat mempraktikkan ESG dengan baik. Sementara itu, sebanyak 80% perusahaan menunjukkan kinerja pergerakan harga saham dan valuasi yang juga lebih baik.

Studi yang dilakukan McKinsey tahun 2019 juga menemukan bahwa komitmen korporasi pada ESG mampu memperluas pangsa pasar, mengurangi biaya operasional, mengurangi intervensi peraturan dan hukum, meningkatkan produktivitas layanan, pertumbuhan nilai investasi dan optimalisasi aset, mampu memitigasi dan konservasi lingkungan, mempertimbangkan keselamatan, kesehatan dan masyarakat, serta menciptakan tata kelola perusahaan yang baik, dan terutama mengubah prioritas bisnis.

Gambaran Umum ESG

ESG kian menjadi isu yang seksi. Terkhusus dalam dunia investasi, ESG telah menjadi standar etik penilaian apakah investor mau membenamkan uangnya atau tidak. 

Perhatian pada aspek tanggung jawab korporasi dan negara terhadap komunitas dan ekosistem lingkungan, membuat investor harus berpikir dua kali sebelum mengucurkan modalnya. ESG menjadi sebuah keharusan atau “kewajiban etis” negara dan korporasi dalam mendorong ekonomi dan investasi berkelanjutan.

Lantas, apa itu ESG? Ada banyak pemahaman mengenai ESG. ESG kadang dipahami sebagai seperangkat standar bagi operasional perusahaan yang dipakai investor yang menyadari pentingnya keberlanjutan komunitas dan ekosistem lingkungan dalam melakukan investasi. 

Investasi ESG terkadang disebut juga sebagai investasi berkelanjutan, investasi yang bertanggung jawab, investasi berdampak, atau investasi yang bertanggung jawab secara sosial (SRI).

Presiden Direktur Insitute for Sustainability and Agility (ISA) Maria R Nindita Radyati menjelaskan bahwa inisiasi munculnya ESG dimulai pada tahun 2004 ketika Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, mengundang sekitar 50 CEO lembaga keuangan besar untuk secara kolektif membahas penyebab bisnis yang berkelanjutan.

Dalam forum tersebut mereka berupaya menemukan cara untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip atau kriteria ESG ke dalam pasar modal. Para CEO industri berpartisipasi dalam inisiatif bersama di bawah naungan UN Global Compact dengan dukungan dari International Finance Corporation (IFC) dan Pemerintah Swiss.

“Sekretaris PBB ingin supaya ESG dipakai sebagai kriteria bagi para analis saham,” katanya dalam wawancara via Zoom, Kamis, 17 Februari 2022.

UN Global Compact merupakan sebuah organisasi PBB yang sifatnya independen, bergerak di bidang bisnis guna mendorong negara-negara supaya mengadopsi kebijakan berkelanjutan dan tanggung jawab sosial, kemudian melaporkan hasil implementasi ke organisasi tersebut. 

Prinsip kerja dari UN Global Compact berbasis pada bidang bisnis, mengedepankan sepuluh bidang termasuk hak asasi manusia, tenaga kerja, lingkungan dan anti korupsi. 

UN Global Compact berdiri pada tahun 2000 dan menjadi pemrakarsa tanggung jawab sosial perusahaan berkelanjutan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 13.000 perusahaan dan pemangku kepentingan lainnya dari 170 negara.

Menurut Maria, meski PBB telah menginisiasi pertemuan membahas isu ESG pada 2004, istilah ESG baru pertama kali diciptakan pada tahun 2005 dalam sebuah studi penting yang dilakukan oleh IFC yang berjudul “Who Cares Wins: Connecting Financial Markets to a Changing World” untuk mengetahui peran kinerja lingkungan, sosial dan tata kelola (LST) dalam manajemen aset dan penelitian keuangan.

Isu pun ESG kemudian mengalami penguatan ketika para pemimpin dunia mengesahkan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) pada 25 September 2015 di Markas PBB.

Agenda SDGs ini menjadi kesepakatan pembangunan global yang mencakup berbagai isu pembangunan sosial dan ekonomi seperti kemiskinan, kelaparan, kesehatan, pendidikan, perubahan iklim, air, sanitasi, energi, lingkungan dan keadilan sosial. 

SDGs total berisikan 17 Tujuan dan 169 Target yang diharapkan dapat dicapai pada 2030. Setelah 2030, panduan internasional ini akan diganti dengan agenda lain.

Sesuai dengan visinya, Agenda SDGs menyasar pada 5P, yaitu: People (Umat Manusia), Planet (Bumi), Prosperity (Kemakmuran), Peace (Perdamaian), Partnership (Kemitraan) yang memiliki hubungan simultan. Sasaran ini bertambah dari sebelumnya hanya 3P, yaitu People (Umat Manusia), Planet (Bumi), dan Profit (Keuntungan) yang diluncurkan PBB dalam proyek Millennium Development Goals (MDGs) sejak 2001-2015.

Dua Isu Pemantik

Maria menjelaskan bahwa dalam dua tahun terakhir, isu ESG semakin menguat di dunia internasional. Ada dua hal yang memicu kembali isu ESG, yaitu pandemi COVID-19 dan gerakan sosial Black Lives Matter (BLM).

Pandemi COVID-19 telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, PHK, dirumahkan, dan berbagai isu lainnya yang menyangkut masalah pekerjaan dan ketenagakerjaan. Dampak pandemi COVID-19 ini tidak hanya menggerogoti pasar tenaga kerja, melainkan juga mengganggu kesejahteraan komunitas. 

Misalnya, banyak orang terjangkit virus, menderita, bahkan mati. Ada distabilitas sosial yang terjadi akibat guncangan virus.

“Banyak karyawan yang dipecat karena COVID-19, kemudian community di sekitar juga mengalami masalah,” pungkas Maria.

Selain COVID-19, isu BLM kembali hidup setelah aktivis Afrika-Amerika George Floyd tewas akibat diinjak polisi AS dalam sebuah aksi protes di Juni 2020. 

Serempak, aktivis penentang rasisme internasional mengecam tindakan tersebut dan menimbulkan gerakan yang kian masif. Gerakan ini sebetulnya sudah dirintis pada tahun 1946, tetapi akarnya kembali ke tahun-tahun setelah kemerdekaan Amerika (1776), ketika negara muda itu mulai memperoleh tanah tambahan. 

Pada musim panas 2015, para aktivis BLM terlibat dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2016. Penggagas tagar dan ajakan aksi, Alicia Garza, Patrisse Cullors, dan Opal Tometi, memperluas proyek mereka menjadi jaringan nasional lebih dari 30 cabang lokal antara 2014 dan 2016.

Dalam gerakan sosial kemanusiaan ini, ada dua bingkai yang mengemuka yaitu pentingnya aspek penghargaan terhadap perbedaan (diversity) dan inkklusivitas tanpa menyekati kelompok yang satu dengan lainnya.

"Yang menarik ini semua non-financial issue semua. Orang kan pikirnya bisnis itu kan financial issue, untungnya besar apa enggak. Tapi setelah ada COVID-19 sama ini (BLM) maka isu yang diutamakan adalah yang non-financial issue. Intinya, sekarang semua perusahaan kalau mau report isu-isu non financial juga dilaporkan,” ujar Maria.

Karena bukan merupakan isu keuangan, lanjut Maria, ESG bersinggungan dan sangat terkait erat dengan isu lingkungan dengan banjir bandang di Belgia dan gempa Tonga menjadi dua kasus yang mengangkat kesadaran pentingnya isu perubahan iklim.

Dalam hal ini, muncullah istilah impact investor, yaitu investor yang menginvestasi modalnya di sektor-sektor strategis dengan pertama-tama mempertimbangkan dampak terhadap komunitas dan lingkungan. 

Ada tiga hal penting dalam yang dipertimbangkan menjadi kriteria impact investor yaitu intesi (intention), dampak terukur (measurable impact) dan imbal hasil keuangan (financial return). 

Impact investment kemudian fokus pada dampak lingkungan dan sosial daripada pengembalian finansial. Yang tidak kalah penting juga adalah bahwa kerangka investasi ini menekankan pentingnya investasi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan (responsibility and sustainability investment).

Pada prinsipnya, kata Maria, impact investment dapat juga disebut ESG Investing. Ini dirancang untuk menghasilkan dampak positif pada isu tertentu sebagai bagian dari proses investasi. Melalui pendekatan ini, investor diajak untuk dapat mempertimbangkan sisi keberlanjutan, yaitu manfaat pada aspek sosial dan lingkungan, dalam proses mengejar keuntungan jangka panjang.

Paradigma ini dipertegas oleh Aniket Shah, yang menyebut bahwa pada prinsipnya ESG Investing seringkali dikaitkan dengan Net Zero Investing. Keduanya bukanlah dua konsep yang bertentangan tetapi dapat dipertukarkan. 

Konsep ini terkait erat selama 10 hingga 15 tahun terakhir, dan telah benar-benar menguasai industri keuangan secara global. 

Namun demikian, ada salah satu masalah dari cara berpikir investor adalah mereka menggunakan intensitas karbon (CO2) sebagai metrik untuk portofolio yang rendah karbon, artinya melihat intensitas CO2 dari jumlah emisi CO2, misalnya per dolar penjualan. 

Dengan kata lain, karena investor di Barat menjadi lebih sadar tentang net zero, salah satu cara sederhana yang dapat mereka wujudkan adalah dengan menjual aset pasar berkembang mereka atau dengan menjual aset hidrokarbon mereka dan kemudian berinvestasi di perusahaan layanan teknologi pada pasar berkembang, yang akan membuat portofolio mereka terlihat net zero.

Menurut dia, terdapat beberapa risiko yang sangat signifikan yang datang ke Indonesia dari tren ini, misalnya. Karena ini mengubah cara pendekatan perusahaan dalam mengeluarkan modal mereka dan bagaimana pemerintah mempertimbangkan perencanaan mereka. Yang perlu dilakukan sekarang adalah memastikan bahwa kumpulan besar modal domestik dan internasional  dapat tersedia untuk transisi energi.

“Agar itu terjadi, semakin jelas rencana transisi, perusahaan seperti saya (Jefferies) akan bekerja sangat keras untuk memastikan bahwa investor memahami pentingnya berinvestasi dalam transisi energi, terutama di pasar negara berkembang yang memiliki titik awal yang sangat berbeda dari transisi mereka,” pungkas Aniket dalam acara Mandiri Forum Investment 2022, Rabu, 9 Februari 2022.

Maria kembali menegaskan bahwa isu ESG ini juga kemudian menguat setelah selama berabad-abad planet kita diekstraksi tanpa mempertimbangan kelestariannya. 

Akibatnya, dunia saat ini dilanda dampak pemanasan global dan beberapa bentuk gangguan iklim (climate change). 

Karena itu, penting bagi negara-negara saat ini untuk memikirkan secara bersama-sama untuk melakukan mitigasi dampak perubahan iklim, salah satunya menggunakan kerangka berpikir baru yang melihat seluruh kehidupan sebagai sistem.

“Jadi if you want to understand about sustainability, maka kamu harus menggunakan system approach,” imbuhnya.

Adapun saat ini planet sudah berada di pemanasan global 1,1 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. PBB menetapkan ambang batas pemanasan global di angka 1,5 derajat Celsius. 

Ambang batas 1,5 derajat Celcius ini adalah apa yang menurut para ahli PBB harus dipenuhi untuk menghindari percepatan dramatis peristiwa iklim ekstrem seperti kekeringan, badai dan banjir. Untuk mencapai target itu PBB telah merekomendasikan bahwa emisi nol persen harus dicapai pada tahun 2050. 

Pakar PBB mengatakan bahwa bahkan jika rencana nasional saat ini sepenuhnya dilaksanakan, dunia sedang menuju pemanasan global sebesar 2,7 derajat, dengan percepatan bencana seperti kekeringan, badai dan banjir.

"Laporan ini harus membunyikan lonceng kematian untuk batu bara dan bahan bakar fosil, sebelum mereka menghancurkan planet kita," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dikutip dari Investopedia, Jumat, 11 Februari 2022.

Investasi Bertanggung Jawab

Isu ESG menguat setelah dunia internasional menyadari pentingnya tanggung jawab terhadap seluruh isi perut bumi. Keberlanjutan ekosistem lingkungan dan komunitas harus dirawat guna menghindari dampak perubahan iklim yang kian ekstrem. Investasi perlu terus didorong agar memiliki sense of belonging terhadap keberlanjutan planet.

Direktur Pengembangan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Hasan Fawzi mengatakan ESG merupakan ukuran untuk tren investasi bertanggung jawab (responsible investment) yang menjadi perhatian dunia, terutama dalam beberapa tahun terakhir. 

Berinvestasi dengan memperhatikan faktor ESG, berarti juga bertanggung jawab atas tujuan investasi, yaitu dengan memperhatikan pengaruhnya terhadap lingkungan (environment), sosial (social), dan penerapan tata kelola yang baik (governance).

Menurut dia, tren investasi bertanggung jawab dengan memperhatikan faktor ESG sangat penting dilakukan karena antara lain faktor ESG mempengaruhi imbal hasil (return) yang berkelanjutan dari suatu investasi. 

Di samping itu, dengan memperhatikan faktor ESG, investor juga mengambil peran aktif dalam mendorong masa depan yang lebih baik. Hal ini merupakan tujuan akhir yang sering kita dengar dengan istilah investasi berkelanjutan atau sustainable investment.

“Salah satu contoh yang sederhana, apabila kita berinvestasi pada perusahaan yang memiliki bisnis yang merusak lingkungan dan tidak memikirkan bagaimana caranya untuk mengembalikan kondisi lingkungan tersebut, maka cepat atau lambat sumber pendapatan yang diperoleh dari lingkungan akan habis. Tentunya contoh ini juga dapat kita bawa pada aspek lainnya di faktor sosial dan tata kelola,” katanya dalam wawacara dengan TrenAsia.com, belum lama ini. 

Standar penerapan investasi yang bertanggung jawab kini tidak lagi menjadi pilihan semata, tetapi sudah menjadi suatu keharusan dan indikator keberhasilan dalam menerapkan strategi bisnis dan praktik investasi yang berkelanjutan.

Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan penerapan model investasi ini juga memiliki dampak yang cukup besar pada tata kelola dan budaya perusahaan.

Investasi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan diharapkan dapat diterapkan lebih luas oleh industri-industri dari berbagai sektor di dunia untuk masa depan yang lebih baik.

“Investasi yang mengedepankan aspek-aspek environment, social dan governance (ESG) bukan lagi pilihan atau bersifat sukarela. Perilaku konsumen, pasar dan investor yang berubah mengharuskan ESG diterapkan dan ditegakkan oleh pelaku usaha dengan dukungan penuh pemerintah, demi keberlanjutan usaha,” katanya dalam wawancara dengan TrenAsia.com.

Dia menyebut bahwa tren investor dengan mempertimbangkan aspek ESG dalam mengambil keputusan investasi mendorong kesadaran bahwa aspek ini mempengaruhi performa investasi mereka. 

Kinerja ESG berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, sehingga akhirnya berdampak terhadap kinerja saham. Karena ESG membawa nilai kepada perusahaan, sehingga harus dikelola dengan baik. 

Menurut dia, penerapan ESG yang salah satunya meliputi transparansi dan integritas dalam pengelolaan akan menjamin strategi bisnis diterapkan secara efektif dan efisien.

Sehingga, tidak mengherankan apabila investor kemudian mulai mempertimbangkan aspek ESG ini dalam mengambil keputusan investasinya.

“Apalagi di tingkat global, tanpa terkecuali Indonesia, pemerintah dan korporasi juga berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang lebih hijau, salah satunya dengan komitmen dalam pengurangan emisi karbon,” papar Arsjad.

Bersambung …