Bank Indonesia
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan kredit industri perbankan mencapai Rp 6.739,40 triliun pada Agustus 2023. Nilai tersebut tumbuh 9,06% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, pertumbuhan tertinggi terjadi pada kredit investasi sebesar 11,25% secara tahunan (yoy).
"Di sisi kepemilikan, pertumbuhan kredit terbesar tercatat dari bank umum swasta domestik yang tumbuh sebesar 12,34% yoy," ujarnya dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner OJK secara virtual, Senin (9/10/2023).
Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Agustus 2023 tercatat sebesar 6,24% yoy menjadi sebesar Rp 8.082 triliun. Adapun kontribusi terbesar dari giro yang tumbuh sebesar 8,02% yoy.
"Pertumbuhan DPK yang termoderasi antara lain karena meningkatnya konsumsi masyarakat paska pencabutan status pandemi Covid-19," ungkapnya.
Dari sisi likuiditas, pada Agustus 2023, tercatat masih dalam level yang memadai dengan rasio-rasio likuditas yang terjaga. Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) yang meskipun sedikit turun masing-masing menjadi 118,50% dan 26,49%. Namun tetap jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50% dan 10%.
Sementara itu, kualitas kredit tercatat masih terjaga dengan rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) net perbankan sebesar 0,79% dan NPL gross sebesar 2,50%.
Sektor perbankan juga mampu menunjukkan resiliensi dengan permodalan yang tinggi serta didukung dengan risiko kredit yang terjaga di tengah tekanan higher for longer tingkat suku bunga global. Industri perbankan secara umum memiliki permodalan yang solid ditinjau dari Capital Adequacy Ratio (CAR) industri perbankan yang tinggi sebesar 27,66%.
Dian mengungkapkan, tingginya permodalan perbankan diyakini mampu menyerap potensi risiko yang dihadapi dan OJK akan terus mendorong kinerja intermediasi dengan tetap menjagakeseimbangan antara pertumbuhan pembiayaan dan terjaganya likuiditas.
"Ke depan patut dicermati dampak lanjutan dari tingginya ketidakpastian perekonomian maupun geoplitikal global khususnya karena kebijakan moneter global yang masih ketat (hawkish) dan termoderasinya perekonomian Tiongkok sehingga dapat meningkatkan sentimen terhadap risiko likuiditas maupun risiko pasar," pungkasnya.(*)