Disertasi Dwi Putri Melati Usulkan Diberlakukan Kembali Hukum Pidana Adat Lampung

2022-03-22T14:04:07.000Z

Penulis:Eva Pardiana

Editor:Eva Pardiana

IMG-20220322-WA0030.jpg
Sidang Terbuka Promosi Doktor Prodi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), Dwi Putri Melati, S.H.,M.H.,C.Me, Rabu, 22 Maret 2022.

BANDAR LAMPUNG – Dwi Putri Melati, S.H.,M.H.,C.Me mengusulkan diberlakukannya kembali Hukum Pidana Adat Lampung dalam kasus pidana yang terjadi di wilayah Bumi Ruwa Jurai. Hukum tersebut berlaku bagi orang Lampung serta orang luar Lampung yang telah diangkat saudara secara adat (angkon muakhi).

Dwi Putri Melati mempertahankan disertasinya berjudul "Refungsionalisasi Hukum Pidana Adat Lampung Dalam Sistem Penegakkan Hukum Pidana Berbasis Kearifan Lokal" di dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Prodi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), Rabu, 22 Maret 2022.

Hadir Wakil Rektor Bidang Akademik Unila, Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., mewakili Rektor Unila, Prof. Dr. Karomani, M. Si., sebagai ketua tim penguji. Selanjutnya,  Sekretaris Peguji, Prof.Dr. Muhammad Akib, S.H., M. Hum., sekaligus Kaprodi Doktor Ilmu Hukum Unila.

Lalu, Penguji Eksternal, Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., yang merupakan Pakar Hukum Pidana dari  Universitas Diponegoro. Sebagai penguji internal adalah Dr. M. Fakih, S.H., M.S., Prof. Dr. Maroni, S.H. M.Hum., dan Dr. Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H.

Dwi Putri Melati mengatakan, Hukum Pidana Adat Lampung sebagai kearifan lokal masyarakat Lampung telah diterapkan jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Namun, lanjutnya, saat ini Hukum Pidana Adat Lampung tidak menjadi prioritas penerapan hukum dalam perkara pidana di masyarakat Lampung, melainkan masih menerapkan hukum pidana positif.

"Sementara, masyarakat Lampung baik Pepadun maupun Saibatin, lebih mempercayai penerapan Hukum Pidana Adat Lampung dalam memberi efek jera dan menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Untuk itu, diperlukan penegakkan kembali Hukum Pidana Adat Lampung dalam kasus pidana di masyarakat Lampung," urainya.

Dia memaparkan, fungsi hukum pidana adat Lampung berupa hukum pidana materil, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana dapat diusulkan dalam Peraturan Perundang-Undangan karena RUU KUHP memberi ruang untuk mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Indonesia.

Dwi menjelaskan, masyarakat adat Pepadun dan Saibatin di Provinsi Lampung memiliki kitab hukum yang mengatur hukum adat Lampung terkait hukum pedata, hukum tata negara daerah, dan hukum pidana.

"Untuk hukum pidana adat Lampung diatur di dalam kitab maupun buku adat Lampung, yaitu Cepalo, Kuntara Rajo Asa/Aso dan Kitab Kuntara Raja Niti," ujar Kaprodi Magister Hukum Universitas Saburai ini.

Dalam penerapan Hukum Pidana Adat Lampung, lanjut Dwi, berbagai pelanggaran atau tindak pidana seperti pencurian, penggelapan, fitnah, melarikan anak gadis, penghinaan, pemalsuan, hingga pembunuhan diselesaikan melalui Sidang Perwatin.

"Pelanggaran-pelanggaran ini diselesaikan melalui Sidang Perwatin  menggunakan asas kekeluargaan melalui musyawarah. Pelaksanaan pidananya juga dilakukan oleh Perwatin," tutur Dwi.

Beberapa sanksi adat yang diterapkan bagi para pelanggar tersebut adalah membayar denda, memotong kerbau, memohon maaf, mengembalikan barang, dan hukuman mati.

Menurutnya, secara teori, sejalan dengan pendapat John Griffiths tentang pluralisme hukum bahwa dua atau lebih sistem hukum dapat bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan adat yang sama.

"Dalam hal ini, Lampung memiliki hukum pidana adat Lampung yang perlu dipertahankan dan diberdayakan berdampingan dengan hukum pidana," ujar Dwi.

Sementara, pada ranah praktis, hasil penelitiannya dapat menjadi acuan untuk merefungsionalisasi hukum pidana adat Lampung dalam sistem penegakkan hukum pidana berbasis kearifan lokal dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum mengenai eksistensi hukum pidana adat Lampung.

Dia mengatakan, penerapan tindak pidana yang dapat ditegakkan menggunakan hukum pidana adat Lampung memiliki persyaratan, yakni, tindak pidana ringan, tindak pidana yang ancaman penjara dibawah lima tahun, dan tindak pidana berat dengan ancaman hukuman di atas lima tahun yang mana keputusan lembaga adat Lampung menjadi rekomendasi dalam putusan pengadilan.

Dwi Putri Melati berhasil melaksanakan ujian terbuka dengan baik dan dinyatakan lulus, serta berhak atas gelar doktor.

"Dengan demikian, Unila telah menyumbangkan seorang doktor kepada Indonesia,  semoga saudara memberikan sumbangan dan kontribusi terbaik untuk negara ini," kata Wakil Rektor Bidang Akademik Unila Heryandi saat menutup sidang.

Menurut Heryandi, pergelutan dalam meraih gelar doktor merupakan pergelutan yang panjang, bukan hanya sekedar mendapat gelar saja, tetapi ada tanggungjawab besar yang diemban.

Ada tiga  tanggungjawab pemegang gelar doktor. Pertama, tanggungjawab terhadap pengembangan ilmu. Kedua, tanggungjawab kepada institusi dengan menjaga marwah institusi, dan ketiga, memberikan pencerahan keapada masyarakat termasuk masalah penegakan hukum dan pencerahan  sosial di era industri 4.0.

"Berikan yang terbaik, berikan pencerahan-pencerahan kepada masyarakat, termasuk tadi yang disampaikan bagaimana menegakkan hukum peradilan adat dalam memperkaya khasanah hukum di Indonesia," tutur Heryandi.

Sementara, Kaprodi Doktor Ilmu Hukum Unila, Muhammad Akib mengatakan penelitian yang dilakukan Dwi Putri Melati sangat sesuai dengan keunggulan Prodi Doktor Unila, yaitu mengangkat nilai-nilai hukum Pancasila.

"Beliau mengangkat tentang Hukum Pidana Adat Lampung, tema ini sangat sesuai dengan kekhasan atau keunggulan yang ada di prodi kami," ujar Muhammad Akib.

Dia berharap, Dwi Putri Melati tetap mengembangkan ilmunya, baik untuk mengangkat institusinya Universitas Saburai, maupun bagi Program Doktor Unila.

"Nanti bisa jadi Dwi Putri Melati bisa menjadi dosen atau penguji di program studi doktor kami," tandasnya. (EP)