kejahatan siber
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA - Digitalisasi secara radikal telah mengubah cara masyarakat dalam berinteraksi, bekerja, dan menjalani kehidupannya. Dampaknya terhadap berbagai sektor seperti keuangan, kesehatan, pendidikan, dan pemerintahan juga semakin mendalam dan beragam.
Salah satu tantangan sekaligus ancaman dari aktivitas digital ini adalah meningkatnya kejahatan siber yang berpotensi menciptakan kerugian bisnis yang akan terus membesar.
Berdasarkan estimasi dari Statista Technology Market Outlook, kerugian akibat kejahatan siber di dunia diperkirakan dapat mencapai US$8,44 triliun atau hampir Rp130.000 triliun (kurs Rp15.400) pada 2022. Angka tersebut melonjak 40,9% dibanding tahun sebelumnya sebesar US$5,99 triliun.
Stastita juga memproyeksikan biaya untuk mengatasi kejatahan siber akan terus membesar dalam beberapa tahun ke depan. Jika di tahun 2018 biayanya ditaksir baru sekitar US$0,86 triliun, tahun 2023 angkanya sudah mencapai US$11,5 triliun dan terus meningkat hingga sekitar US$23,82 triliun pada 2027.
Pakar Keuangan yang juga Direktur Kantor Akuntan Publik Pricewatercoopers Budi Santoso menjelaskan, kejahatan siber mengacu pada aktivitas ilegal yang dilakukan melalui internet atau dengan menggunakan teknologi digital. Kategori yang luas ini mencakup sejumlah tindakan jahat, mulai dari pencurian identitas, penipuan keuangan hingga mata-mataan siber dan distribusi perangkat lunak berbahaya.
“Inti dari kejahatan siber terletak pada eksploitasi sifat virtual dunia digital, di mana tindakan dapat dilakukan secara jarak jauh, seringkali menjadikan pelaku anonim dan mempersulit upaya penegakan hukum,” jelas Budi Santoso saat menjadi pembicara dalam forum diskusi bertemakan "The Evolution of Digitalization: How Cybercrime is Shaping Our Future Towards 2045", di Jakarta, Selasa (14/11).
Dalam forum yang dihadiri para Direktur Keuangan perusahaan perbankan, asuransi, multifinance dan industri keuangan lainnya ini, Budi menyampaikan sejumlah pemikirannya mengenai potensi ancaman siber akibat kemajuan digital.
Pertama, serangan siber yang didorong oleh Artificial Intelligent (AI) akan mendorong
kecanggihan dalam pembuatan Malware. AI dapat digunakan untuk menciptakan malware yang lebih canggih yang dapat belajar dan beradaptasi dengan berbagai sistem keamanan yang berbeda, sehingga lebih sulit untuk dideteksi dan dinetralisir.
Kemajuan AI memungkinkan serangan rekayasa sosial yang sangat personal dan otomatis. Dimana email dan pesan phishing disesuaikan dengan profil individu, sehingga akan meningkatkan kemungkinan terjadinya pelanggaran yang berhasil.
“Keberadaan AI juga berpotensi untuk digunakan dalam perang siber, melakukan serangan dengan kecepatan dan kompleksitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Situasi ini tentu menjadi ancaman nyata terhadap mekanisme pertahanan tradisional yang saat ini masih digunakan di negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia,” imbuh Budi.
Potensi ancaman siber kedua adalah dampak dari Komputasi Kuantum pada Enkripsi. Komputasi kuantum merupakan ancaman signifikan terhadap standar enkripsi saat ini. Algoritma yang butuh berabad-abad bagi komputer tradisional untuk membobol, dengan komputer kuantum bisa diselesaikan dalam sekejap.
Di sisi lain, komputasi kuantum juga menawarkan solusi dalam bentuk kriptografi kuantum, yang dapat memberikan tingkat keamanan yang saat ini sulit dibayangkan. Namun, teknologi ini masih dalam tahap awal perkembangannya.
Ketiga, Meningkatnya Kompleksitas Serangan Phishing dan Rekayasa Sosial. Menurut Budi,
kemajuan dalam AI dan pembelajaran mesin akan memungkinkan para penjahat siber untuk membuat konten phishing yang lebih meyakinkan, membuatnya semakin sulit bagi individu untuk mengenali komunikasi yang bersifat penipuan.
“Penggunaan teknologi deepfake dapat menghasilkan penyamaran yang sangat kredibel dalam serangan rekayasa sosial, menipu individu dan organisasi untuk mengungkapkan informasi sensitif atau melakukan transaksi tanpa izin,” papar Budi yang juga menjadi dosen akuntansi di Universitas Sebelas Maret Solo ini.
Hal penting lain yang perlu dicermati akibat digitalisasi yang semakin massif adalah meningkatnya aktivitas siber yang didukung oleh negara. Budi mengungkapkan seiring dengan kemajuan teknologi digital, kelompok yang didukung oleh negara akan semakin terlibat dalam mata-mata siber untuk memperoleh keuntungan politik, ekonomi, atau militer.
Ke depan diproyeksikan bakal terjadi peningkatan serangan yang menargetkan infrastruktur kritis seperti jaringan listrik, sistem pasokan air, dan sistem komunikasi, yang berpotensi menyebabkan gangguan yang signifikan .
Situasi tersebut berpotensi untuk mendorong terjadinya konflik siber global, dengan negara-negara terlibat dalam serangan siber sebagai bagian dari strategi geopolitik yang lebih luas. Ini adalah bentuk perang baru di mana pertempuran dilakukan dalam ranah digital.
“Serangan siber yang berhasil dapat memiliki dampak ekonomi yang parah, mulai dari biaya pelanggaran data hingga gangguan operasi bisnis. Sementara itu aktivitas siber yang didukung oleh negara dapat memengaruhi proses politik, seperti pemilihan, dan berkontribusi pada ketidakstabilan sosial dengan menyebarkan informasi yang salah,” ungkapnya.
Untuk menghadapi situasi ini, Budi mengatakan, kerja sama keamanan siber internasional menjadi kebutuhan mendesak. Ancaman yang terus berkembang menunjukkan perlunya kerja sama internasional dalam upaya keamanan siber, termasuk berbagi intelijen, menetapkan standar global, dan memberlakukan hukum tentang kejahatan siber.
“Potensi evolusi ancaman siber dalam konteks kemajuan teknologi digital menunjukkan bahwa dimasa depan serangan siber akan lebih canggih, terarah, dan potensial lebih merusak. Lanskap ini membutuhkan pendekatan keamanan siber yang canggih dan proaktif serta menggabungkan inovasi teknologi, kerjasama internasional, dan pendidikan yang komprehensif tentang ancaman siber dan strategi pencegahan,” tutupnya. (*)