Bursa Kripto
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA – Kehadiran bursa kripto justru bisa menurunkan nilai transaksi apabila biaya atau fee yang dikenakan kepada nasabah dinilai terlalu mahal.
Pada Jumat, 28 Juli 2023 lalu, PT Bursa Komoditi Nusantara alias Commodity Future Exchange (CFX) resmi diluncurkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.
Seperti yang sudah diberitakan sebelum-sebelumnya, kehadiran bursa kripto ini sudah dinanti-nanti oleh pelaku industri, khususnya pedagang fisik aset kripto. Sebab, keberadaannya bisa semakin memperkuat ekosistem perdagangan cryptocurrency di dalam negeri.
Kendati demikian, ada potensi risiko yang hadir tatkala bursa kripto ini didirikan, yakni terkait dengan biaya transaksi yang bisa mendorong penurunan nilai transaksi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Roby mengatakan, biaya transaksi setelah adanya bursa kripto untuk saat ini masih dalam perundingan yang melibatkan pihak-pihak terkait seperti pedagang fisik aset kripto, Bappebti, lembaga kliring, dan penyedia layanan kustodian.
Disampaikan olehnya, dengan adanya tiga lembaga sekaligus yang menaungi bursa kripto, yaitu Bappebti sebagai pengawas, PT Kliring Berjangka Indonesia sebagai lembaga kliring, dan PT Tennet Depository Indonesia sebagai penyedia kustodian.
Menurut Roby, kehadiran ketiga lembaga ini memang bisa menggnjot kepercayaan dan keamanan dalam transaksi aset kripto di Indonesia, bahkan lebih aman dibandingkan Amerika Serikat (AS) yang merupakan salah satu pusat finansial terbesar di dunia.
Akan tetapi, dengan adanya ketiga lembaga tersebut, maka ada potensi kenaikan biaya transaksi sehingga jika biayanya terlalu besar, dikhawatirkan nilai transaksi perdagangan kripto di Indonesia justru menurun.
“Tahun kemarin saja nilai transaksi sudah turun, apalagi jika ditambah lagi dengan beban biaya yang terlalu mahal,” ujar Roby kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Nilai Transaksi Kripto
Sebagai informasi, pada tahun 2021, nilai transaksi kripto mencapai Rp858,75 triliun. Namun, angkanya merosot hingga 64,3% menjadi Rp306,4 triliun pada tahun 2022. Dikatakan oleh Roby, jika biaya transaksi di bursa kripto terlalu mahal, angka tersebut bisa semakin anjlok lagi.
“Apalagi dengan adanya market crash tahun lalu, nilai transaksinya sudah berkurang drastis,” papar Roby.
Nilai transaksi yang menyurut bukan berarti menandakan minat investasi kripto yang juga menurun di Indonesia. Pasalnya, seperti dikatakan oleh Roby, turunnya nilai transaksi tersebut bisa terjadi karena banyaknya investor atau trader yang beralih ke platform perdagangan di luar negeri.
Oleh karena itu, Roby bersama pedagang fisik aset kripto lainnya pun berusaha untuk berembuk dengan pihak-pihak terkait agar biaya transaksinya nanti tidak terlalu mahal, yakni saat transaksi di CFX sudah dibuka pada pertengahan Agustus 2023.
“Kami terus duduk bersama untuk membicarakan ini, dan meskipun kami sendiri tidak menargetkan kisaran biayanya, kami harap angkanya tidak terlalu tinggi untuk nasabah,” kata Roby.
Roby pun menyampaikan bahwa sudah banyak pelaku di pasar kripto yang menanti kehadiran bursa. Bahkan, Roby pun mengatakan bahwa pendirian bursa kripto pertama di dunia ini merupakan langkah yang berani dari pemerintah untuk memberikan keamanan bagi peminat cryptocurrency.
Lain halnya dengan Amerika Serikat yang justru membatalkan pendirian bursa kripto karena masalah regulasi yang terjadi dan memicu layangan gugatan dari Komisi Sekuritas dan Bursa (Securities and Commission Exchange/SEC).
Dengan adanya bursa kripto ini pula pada pedagang fisik berharap bisa ada fitur perdagangan lain di luar spot trading, seperti perdagangan derivatif, staking, ataupun futures.
Pasalnya, spot trading bisa dikatakan hanyalah “kulit luar” dari perdagangan aset kripto karena “daging”-nya sendiri berasal dari fitur-fitur perdagangan yang lain yang contohnya disebutkan di atas. (*)