Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan pentingnya industri perbankan untuk kembali pada praktek-praktek bank yang sehat. Dengan menjaga keseimbangan manajemen aset dan kewajiban, rasio modal yang memadai serta ketersediaan likuiditas pada rentang yang aman.
Hal itu disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae. “Pergerakan inflasi global yang sedang meningkat akibat disrupsi rantai pasok komoditas dan energi telah direspons dengan kenaikan suku bunga di berbagai yurisdiksi,” ungkapnya dalam keterangan resmi, dikutip Jumat, 31 Maret 2023.
Kondisi demikian pada gilirannya akan menekan pertumbuhan ekonomi global. Sebab, perubahan kondisi makro yang demikian cepat ini sangat memberi tekanan pada industri keuangan khususnya perbankan.
Menurut Dian, penutupan Sillicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat yang pada dipicu masalah teknis individu bank terkait mismatch asset and liabilities management karena tidak dibarengi dengan ketersediaan likuiditas dan modal yang memadai.
Hal tersebut telah memicu permasalahan psikologis dengan turunnya kepercayaan masyarakat pada institusi keuangan. Dampaknya, penurunan kepercayaan tersebut telah memberi efek rembetan pada beberapa bank lain dan menyebar ke lintas yurisdiksi.
Untuk itu, BCBS mengambil berbagai pembelajaran tersebut dengan meninjau basel core principle dengan menyepakati dimasukkannya aspek makroprudensial dalam prinsip-prinsip yang perlu mendapat perhatian di industri perbankan global.
BCBS juga menekankan kembali perlunya industri perbankan untuk kembali pada konsep dasar pengelolaan perbankan yang sehat dengan menjaga keseimbangan pengelolaan aset dan kewajiban.
Kemudian senantiasa menjaga kecukupan modal sebagai penyangga risiko dengan mengantisipasi potensi kerentanan yang mungkin terjadi, memastikan ketersediaan likuiditas yang memadai untuk menjaga kepercayaan nasabah, dan secara reguler melakukan stress test pada berbagai skenario.
BCBS menegaskan perlunya kerja sama antarotoritas untuk bertindak cepat dalam menghadapi permasalahan bank dalam rangka menjaga kestabilan sistem keuangan global. Kerentanan ini terjadi di perbankan global terutama dipicu oleh kegagalan bank tertentu di Amerika Serikat dan Eropa tapi tidak memiliki dampak signifikan terhadap industri perbankan Indonesia.
"Berbagai indikator menunjukkan bahwa perbankan Indonesia dalam kondisi yang solid dengan rata-rata rasio prudensial yang tetap di atas rata-rata perbankan global. Sebagai gambaran, pada posisi Januari 2023, rasio kecukupan modal," ujarnya.
Pada posisi Januari 2023, rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 25,93% dan sekitar 85% komponen modal masuk dalam klasifikasi modal inti (Tier 1 capital; CET 1).
Sebagai perbandingan, rasio modal inti perbankan Amerika 13,52% dan Eropa sebesar 16,13%. Adapun kinerja likuiditas perbankan tanah air terjaga dengan baik, yang ditunjukkan dengan Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net-Stable Funding Ratio (NSFR) masing-masing sebesar 232,22% dan 134,58%.
Kondisi likuiditas tersebut juga jauh lebih baik dibandingkan dengan rasio LCR dan NSFR perbankan di Amerika sebesar 120,43% dan 123,20% serta perbankan di Eropa sebesar 152,39% dan 120,21%.
Dian mengatakan, saat ini OJK mencermati bahwa aset perbankan terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh dana murah (CASA) yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Selanjutnya, dalam menyikapi kasus SVB dan efek rembetannya, Dian menekankan kepada perbankan agar penerapan prinsip-prinsip dasar kehati-hatian terus menjadi perhatian.
"OJK akan terus memperkuat koordinasi antarotoritas terutama dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Keuangan yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) guna memastikan stabilitas sistem keuangan nasional tetap terjaga," pungkasnya.(*)