Bagaimana Nol Emisi Dapat Terwujud dengan ESG?

2023-08-13T06:09:21.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Redaksi

Ilustrasi kualitas udara perkotaan yang buruk
Ilustrasi kualitas udara perkotaan yang buruk

JAKARTA – Sejak pandemi COVID-19 usai, kesadaran masyarakat dunia untuk menjalankan aktivitas ekonomi hijau yang berkelanjutan semakin meningkat. Untuk mewujudkan ekonomi berkelanjutan, salah satu upaya yang bisa dilakukan yakni menjalankan aktivitas ekonomi dengan memenuhi prinsip Environment, Social, Governance (ESG).

Menurut Badan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ekonomi hijau yang berkelanjutan adalah aktivitas ekonomi di mana manusia dan alam dapat bersama-sama berada dalam keselerasan produktivitas yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan lainnya baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.

Tonggak penting bertumbuh dan tersebarnya kesadaran penerapan ESG bermula dari disepakatinya Paris Agreement pada 2015, di mana terdapat 195 negara dunia termasuk Indonesia menyampaikan komitmennya untuk berkontribusi menghadapi perubahan iklim dengan cara mengurangi emisi.

Komitmen tiap negara kemudian dirangkum dalam National Determination Contribution (NDC) yang disampaikan tiap negara. Hal ini dilakukan agar tiap negara berupaya menciptakan emisi nol (Net zero emission) agar tercapai pada tahun tertentu.

Turut terlibat dalam NDC, Indonesia berkomitmen akan memenuhi net zero emissions (emisi nol) maksimal pada tahun 2060. Langkah itu akan dimulai dengan upaya mengurangi emisi sebesar 32% dengan upaya sendiri dan 43% dengan dukungan internasional.

CEO Schroders Indonesia Michael T. Tjoajadi menyatakan Indonesia diuntungkan karena memiliki hutan tropis yang luas, sehingga mampu menyerap emisi karbon lebih besar.

“Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang besar, pulau yang luas dan lautan yang dapat menyerap karbon. Jika pemerintah terbuka dan memanfaatkan ini untuk mengundang investor-investor asing untuk ikut serta dalam pelestarian hutan, maka emisi karbon dunia dapat ditekan,” jelas Michael saat diwawancara TrenAsia.com belum lama ini.

Michael mengatakan emisi karbon adalah problem untuk lingkungan. “Namun kita bisa menurunkan tingkat panas dunia dengan meningkatkan produksi oksigen. Karena seperti yang kita tahu, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil oksigen terbesar di dunia,” ujarnya.

Michael menambahkan lingkungan yang menjadi salah satu prinsip ESG merupakan tanggung jawab semua umat manusia. "Karena dampak pelestarian hutan dan oksigen yang dihasilkan, nantinya akan dirasakan oleh semua manusia yang ada di bumi,” ujarnya.

Sementara untuk unsur sosial dan tata kelola, setiap negara berkewajiban untuk memperbaikinya. Meski demikian, setiap negara terutama Indonesia tidak menutup mata terhadapi bantuan pembinaan dari negara lain termasuk negara maju yang memiliki sumber daya dan teknologi yang canggih.

Jika melirik ke negara China, Taiwan dan Jepang, mereka telah menggunakan energi listrik yang ramah lingkungan dengan jumlah yang cukup besar. Untuk itu, Indonesia perlu mencontoh negara lain dan menerapkan penggunaan solar panel hingga kendaraan listrik agar net zero emissions 2060 dapat tercapai.(*)