Aliran Dana Investor Bakal Mengalir ke Sektor Komoditas

2022-10-16T17:57:55.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Yunike Purnama

Ilustrasi kurs Rupiah terhadap Dolar AS.
Ilustrasi kurs Rupiah terhadap Dolar AS.

JAKARTA - Langkah bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan terus menerus berdampak terhadap mata uang rupiah dan mata uang negara berkembang lainnya. Mata uang negara berkembang termasuk rupiah cenderung tertekan.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk, ditulis Minggu, 16 Oktober 2022 Rupiah mencapai titik terlemah sejak Mei 2020 di kisaran 15.400 per dolar AS. Year to date (ytd), rupiah turun 8,04 persen dan indeks dolar AS naik 17,49 persen mencapai level tertinggi sejak April 2002 pada akhir September 2022 dan terus menguat.

"Konsensus pasar masih melihat the Fed akan menaikkan suku bunga dalam beberapa pertemuan mendatang, secara bertahap akan kurangi besarnya kenaikan suku bunga hingga Mei 2023,” demikian mengutip riset tersebut.

Ashmore menilai, jika semua sama, rupiah kemungkinan relatif terus melemah terhadap dolar AS dalam waktu dekat. Pasar global telah mencatat kinerja buruk termasuk berdenominasi dolar AS. Saat ini, indeks S&P 500 turun 23,49 persen ytd, dan imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun naik 159,49 persen ytd dari 1,51 persen menjadi 3,92 persen.

Dengan melihat kondisi tersebut, bagaimana dengan Indonesia?

Aliran dana investor asing yang masuk ke pasar saham mencapai Rp 72 triliun year to date (ytd) dan secara bulanan Rp 2,68 triliun seiring harga komoditas dan dampak positif pada pola konsumsi dan likuiditas perbankan.

"Namun, surat utang terus berada di bawah tekanan dengan arus keluar Rp 164 triliun ytd, dan bulanan Rp 6,98 triliun,” tulis Ashmore.

Aliran dana keluar dari surat utang ini menjadi salah satu penyebab rupiah melemah akhir-akhir ini meski pada tren lebih tangguh ketimbang negara lainnya.

Namun, risiko utama Indonesia adalah prospek komoditas. "Kita telah melihat pertumbuhan harga komoditas secara bertahap melambat. Di tengah ketegangan seluruh dunia dan banyak negara mengambil kebijakan proteksionisme, harga komoditas mungkin tetap cukup tinggi dalam jangka menengah, memungkinkan untuk aliran modal ke sektor tersebut,” tulis Ashmore.

Ashmore masih merekomendasikan overweight untuk saham dan mempertahankan sikap hati-hati terhadap obligasi karena risiko mata uang dan kenaikan suku bunga. “Bersiap untuk ketidakpastian, kami percaya strategi saham defensif dengan sektoral mungkin merupakan kombinasi yang solid jangka pendek,” tulis Ashmore.(*)