Sambut 2022, Ekonom Ingatkan Ancaman Inflasi
Yunike Purnama - Sabtu, 01 Januari 2022 12:51BANDARLAMPUNG - Ekonom Fadhil Hasan mengingatkan tentang ancaman inflasi di Amerika Serikat terhadap perekonomian negara di 2022. Pasalnya, ancaman tersebut tidak hanya akan memengaruhi AS, tetapi juga Indonesia.
"Inflasi ini cukup kuat dan sudah terasa di Amerika Serikat. Di Indonesia juga saya kira sudah mulai terasa dari kenaikan harga bahan-bahan pokok," kata Fadhil dalam Webinar Evaluasi dan Outlook 2022 Ekonomi Politik Indonesia oleh Narasi Institute pada Jumat (31/12/2021).
"Kemudian, di 2022 juga akan ada kenaikan tingkat suku bunga The Fed yang pada akhirnya juga akan membuat Bank Indonesia meningkatkan tingkat suku bunganya. Saya kira ini mendorong inflasi juga," tambahnya.
- PLN Mobile Punya Fitur Catat Meter Mandiri
- 5 Tips Mewujudkan Resolusi Tahun Baru 2022, Coba Lebih Realistis
- Tjokorda Raka, Tokoh Indonesia Penemu Teknologi Proyek Jalan Layang Sosrobahu
Terlebih, inflasi yang terjadi saat ini merupakan yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Dalam kesempatan yang sama, Managing Director Political Economy & Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menjelaskan, inflasi harga konsumen Amerika Serikat pada November 2021 sudah mencapai 6,8%. Ia memprediksi angka ini akan terus meningkat hingga lebih dari 7%.
"Ini tertinggi sejak tahun 82," terang Anthony.
Tekanan inflasi ini disebut dipengaruhi oleh indeks harga produsen AS yang juga meningkat. Anthony memaparkan indeks harga produsen AS pada Oktober 2021 berada di angka 8,6%, kemudian meningkat jadi 9,6% pada November 2021.
"Sebagian terserap di harga konsumen dan sebagian harus ditampung produsen. Jadi, laba menurun," ujarnya.
Apabila inflasi ini terus menanjak, kata Anthony, dunia akan masuk pada fase inflasi tinggi yang ia sebut sebagai stagflasi.
"Dengan kondisi begini, Bank Central akan mengambil tindakan. Bank Central akan mengurangi pembelian obligasi-obligasi pemerintah dan korporasi dan akan efektif kembali menjadi nol pada Maret 2022," papar Anthony.
Kondisi tersebut dinilai akan mengaktifkan quantitative easing yang pada akhirnya berdampak pada kenaikan harga komoditas.
"Jadi, quantitative easing akan disetop pada Maret 2022. Begitu harga jatuh seperti sekarang pada pandemi, dilakukan quantitative easing. Ini dampaknya bubble komoditas lagi. Jadi, pada kondisi ekonomi lemah, harga komoditas itu naik sedemikian rupa," tandasnya.(*)