Proyeksi Sektor Pertanian di 2023, Waspada Kemarau Panjang

Yunike Purnama - Senin, 09 Januari 2023 07:48
Proyeksi Sektor Pertanian di 2023, Waspada Kemarau PanjangSektor pertanian menjadi salah satu sektor tumpuan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. (sumber: Ismail Pohan/TrenAsia)

BANDAR LAMPUNG - Sektor pertanian menjadi salah satu sektor tumpuan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal III 2022 sektor pertanian mengalami pertumbuhan 1,65 persen dari kuartal sebelumnya.

Pertumbuhan tersebut ditopang oleh subsektor perkebunan yang berkontribusi sebesar 2,74 persen, seiring dengan kenaikan produksi minyak kelapa sawit dan permintaan komoditas teh.

Lantas, seperti apa proyeksi kinerja sektor pertanian di tahun ini?

Pengamat Pertanian sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso mengatakan, pada sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan padi akan mengalami penurunan produksi hingga 5 persen. Hal ini disebabkan oleh faktor cuaca, di mana pada musim tanam (MT) 1 yang dimulai sejak November 2022 lalu, terganggu oleh tingginya curah hujan yang menyebabkan tanaman padi kebanjiran dan harus ditanam ulang.

Meski pada bulan April hingga Agustus kondisi iklim diperkirakan normal, namun proses produksi dikhawatirkan akan kembali terganggu karena pada September telah memasuki iklim El Nino atau musim kering yang berkepanjangan.

“Sehingga ada dua yang kita hadapi saat ini. Pertama, di MT  1 justru pada puncaknya La Nina, lalu akan terganggu juga oleh El Nino atau musim kering yang berkepanjangan,” kata Dwi dikutip Senin, 9 Januari 2023.

Dwi menuturkan bahwa, sektor pertanian Indonesia selama ini memang lebih besar ditopang oleh subsektor perkebunan, khususnya kelapa sawit. Pasalnya, subsektor tanaman pangan selalu mengalami defisit.

Besarnya defisit yang terjadi pada subsektor tanaman pangan disebabkan oleh masih masifnya impor pada sebagian komoditas tanaman pangan, seperti gandum, kedelai dan bawang putih. Bahkan, gula dan daging sapi turut menjadi komoditas dengan angka impor yang tinggi.

Ia merinci, saat ini kebutuhan gandum dalam negeri dipenuhi 100 persen oleh impor. Lalu kedelai sebesar 97 persen juga dipenuhi dari impor, adapun gula baik gula kristal putih maupun rafinasi sebesar 70 persen dipenuhi dari impor, serta daging sapi yang pemenuhannya sebesar 50 persen dari impor.

Pentingnya Peningkatan Produksi Dalam Negeri dan Kesejahteraan Petani

Melihat kondisi tersebut, Dwi menyoroti pentingnya peningkatan produksi dalam negeri. Pasalnya, slogan ‘swasembada pangan’ yang selalu digaungkan tak kunjung terealisasi.

Menurutnya, hal itu disebabkan oleh semakin menurunnya kesejahteraan petani, khususnya petani kecil yang terlibat dalam produksi tanaman pangan. Para petani tersebut harus berhadapan dengan produk impor yang harganya jauh lebih rendah dari yang diproduksi di dalam negeri, sehingga para petani enggan bertanam.

“Seperti saat ini, komoditas beras harus head to head dengan gandum. Kenapa konsumsi beras menurun? karena tergantikan oleh gandum, jadi beras ini amat sangat terancam oleh gandum,” tutur Dwi.

Ia bahkan memperkirakan pada 100 tahun Indonesia merdeka nanti, konsumsi pangan pokok dalam negeri 50 persen akan beralih ke gandum, di mana saat ini kebutuhan akan gandum sudah mencapai 28 persen.

Dwi menyayangkan tidak adanya perlindungan yang memadai terhadap produk komoditas pangan dalam negeri. Hal itulah yang menyebabkan produksi pangan menurun seiring dengan ketergantungan terhadap impor yang semakin besar.

“Sederahana saja, tingkatkan kesejahteraan petani. Tapi jangan hanya dengan bagi-bagi KUR dan alsintan, itu gak ada manfaatnya. Yang diperlukan itu meninjau ulang tarif impor pangan, sehingga harga pangan yang diproduksi oleh petani kecil ini bisa naik,” pungkas Dwi. (*)

Editor: Redaksi
Bagikan
Yunike Purnama

Yunike Purnama

Lihat semua artikel

RELATED NEWS