Peter Gontha Beberkan Kronologi Sewa Pesawat yang Jadi Penyebab Garuda Indonesia Bangkrut
Eva Pardiana - Rabu, 03 November 2021 06:38JAKARTA - Mantan Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) Peter Frans Gontha mulai membongkar keterlibatan manajemen maskapai penerbangan nasional tersebut dalam kontrak sewa pesawat dengan Boeing.
Menurut Peter, salah satu kontrak sewa pesawat yang gagal dalam bisnis Garuda Indonesia adalah pembelian pesawat Boeing 737 MAX 8 untuk menggantikan pesawat B737-800NG yang konon disebut sudah uzur.
Penyewaan 50 pesawat tersebut sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani antara Garuda Indonesia dan Boeing pada September 2014.
Adapun nilai kontrak sewa pesawat tersebut disebut Peter mencapai lebih dari US$3 miliar setara Rp42 triliiun. Nilai kontrak pesawat tersebut sebanding dengan nilai investasi proyek smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) yang dibangun Joko Widodo di Gresik.
- Ini Strategi Ajaib Sekuritas Gaet 1 Juta Investor Muda
- Pemprov Lampung Latih Pengrajin Tapis Hasilkan Produk Berkualitas
- Pemkot Bandarlampung Tunggu Instruksi Pusat Terkait Vaksin Anak
"Ini pesawat Boeing 737 Max yang ditandatangani DIREKSI/KOMISARIS Garuda pada tahun 2013/2014. Total kontraknya melebihi US$3miliar untuk 50 pesawat. Gila kan hanya 24 jam," ujar Peter melalui akun Instagramnya, Selasa, 2 November 2021 di tengah kesibukannya mengikuti Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26) Glasgow.
Peter mengakui dirinya tidak setuju dengan proses negosiasi bisnis penyewaan pesawat dengan produsen pesawat asal Amerika Serikat tersebut. Pasalnya, kontrak dilakukan tanpa evaluasi manajemen yang komprehensif.
"Saya diminta untuk menandatanginya, tapi saya menolak. Kenapa? Karena kita hanya diberi 1x24 jam untuk evaluasi dan menandatanganinya. Karena dipaksa dengan alasan saya harus ttd, kalau tidak menjadi (dissenting) 'gagal' pembeliannya," terangnya.
Untuk diketahui, pada masa pembelian pesawat tersebut, Peter menjabat sebagai Komisaris Independen yang diangkat Menteri BUMN Dahlan Iskan pada 2012.
Sementara itu, Direktur Utama Garuda Indonesia dipegang oleh Emirsyah Satar yang menjabat sejak 21 Maret 2005 sampai 12 Desember 2014. Setelah angkat kaki dari Garuda Indonesia, Emirsyah pun tersangkut masalah penyuapan penyewaan pesawat antara Garuda Indonesia dengan lessor asing.
Emirsyah Satar sudah divonis 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada tahun 2020 setelah terbukti melakukan penyuapan dalam bisnis sewa pesawat.
Emirsyah terbukti menerima suap senilai Rp46 miliar empat lessor asing yaitu dari Airbus S.A.S, Rolls-Royce PLC, Avions de Transport Regional (ATR), dan Bombardier Inc.
Uang suap dari tiga lessor pertama diberikan melalui Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo, sedangkan dari Bombardier melalui Hollingsworld Management International Ltd Hong Kong dan Summerville Pacific Inc.
Peter kemudian diangkat kembali menjadi Komisaris oleh Erick Thohir pada Januari 2020, sebelum dipecat pada Agustus 2021 bersaman Donny Oskaria yang kini menjadi Direktur Utama (Dirut) Aviasi Pariwisata Indonesia, holding BUMN Pariwisata yang dibentuk Erick.
Peter, yang merupakan 'orang Cendana' ini menegaskan bahwa meski dia menangatangani perjanjian kontrak tersebut, namun dia tidak memiliki ikhtiar untuk menyetujui pembelian tersebut. Dengan nilai kontrak fantastis, dia berpikir terlalu cepat untuk menyetujuinya.
"Saya akhirnya tandatangani juga tapi dengan catatan: bahwa kita tidak diberi cukup waktu untuk evaluasi. Dan saya pun dikucilkan oleh 'direksi waktu itu'. Saksi hidup masih banyak. Tanyakan saja!" papar Peter.
Masalah Boeing
Pesawat Boeing 737 Max 8 merupakan pengembangan dari B737-800NG. Pesawat ini memiliki keunggulan berupa teknologi terbaru yang lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar. Pesawat ini juga memiliki tingkat kebisingan dan emisi yang lebih rendah.
Boeing 737 Max 8 dikembangkan oleh Boeing Commercil Airplanes dan diluncurkan pada 2017 dengan kapasitas 200 penumpang.
Rencananya, pesawat Boeing 737 MAX 8 yang disewa Garuda Indonesia akan tiba secara bertahap mulai tahun 2017 hingga 2023 sesuai dengan berakhirnya masa sewa pesawat B737-800NG. Namun sampai saat ini baru satu pesawat yang tiba di tanah air.
Tahun lalu ketika masih menjabat sebagai Komisaris, Peter pernah mengusulkan agar kontrak penyewaan 50 pesawat Boeing 737 MAX 8 dibatalkan karena melihat ada potensi kerugian di tengah pembengkakan utang perusahaan yang makin besar.
Namun, usulan tersebut ditolak oleh Direksi Garuda Indonesia yang dipimpin oleh Irfan Setiaputra. Lantas, kontrak tersebut terus berjalan padahal Boeing sudah terjerat kasus korupsi oleh otoritas AS.
Selain itu, pesawat Boeing 737 Max 8 milik perusahaan tersebut juga dinilai tidak aman setelah jenis pesawat itu mengalami dua kali kecelakaan beruntun sejak 2018-2019.
Pada akhir 2018, pesawat Boeing 737 Max 8 milik Lion Air jatuh di perairan Jakarta Utara sehingga menewaskan 189 orang.
Kemudian, pesawat Boeing 737 Max 8 yang dioperasikan maskapai Ethiopian Airlines jatuh juga jatuh pada Maret 2019 dan menewaskan 149 penumpang dan 8 kru pesawat.
"Akhirnya (untung) hanya satu pesawat yang terkirim karena pesawat tersebut gagal design dan jatuh (Lion air dan Ethiopia air)," katanya.
"Tahun lalu (2020) saya minta Direksi untuk batalkan kontrak tersebut dan kembalikan 1 pesawat yang sudah dikirim, tapi tidak dikerjakan karena alasan kontrak tersebut tidak bisa dibatalkan apapun alasannya," imbuhnya.
Peter pernah juga mengusulkan agar masalah penyewaan pesawat dengan Boeing diselesaikan melalui pengadilan di AS. Namun Direksi Garuda Indonesia tidak mengindahkan.
"Saya minta dituntut dipengadilan Amerika Serikat, dan minta uang perusahaan dikembalikan, tapi tidak dilaksanakan, padahal Boeing sudah terkendala korupsi," ungkapnya.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mendorong agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan dalam melakukan pemeriksaan terhadap mantan Komisaris dan Direksi Garuda Indonesia menurut bukti-bukti yang dibeberkan Peter Gontha.
"Kita dorong memang supaya mantan-mantan Komisaris atau mantan Direksi pada saat itu, bisa diperiksa (KPK) saja. Untuk mengecek bagaimana sampai penyewaan pesawat tersebut bisa terjadi," ujar Arya dalam keterangan resmi, Senin, 1 November 2021. (*)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Daniel Deha pada 02 Nov 2021