Pengamat: Kenaikan Tarif Ojol Jadi Teror Ekonomi untuk Masyarakat Menengah ke Bawah

Eva Pardiana - Selasa, 16 Agustus 2022 12:10
Pengamat: Kenaikan Tarif Ojol Jadi Teror Ekonomi untuk Masyarakat Menengah ke BawahIndustri jasa transportasi online dapat memberikan kontribusinya dalam mengawal pemulihan ekonomi selama masa pandemi Covid-19. (sumber: Ismail Pohan/TrenAsia)

BANDAR LAMPUNG – Pengamat Ekonomi  Sumatra Selatan, Yan Sulistyo menilai kebijakan kenaikan tarif transportasi online atau ojek online (ojol) yang dikeluarkan pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi tidak memberikan dampak positif bagi perekonomian, justru menjadi teror ekonomi bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

"Kenaikan tarif ini akan berdampak pada mitra pengemudi roda dua di mana mayoritas merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Kebijakan ini tidak memberikan dampak positif bagi perekonomian sama sekali, justru menambah teror ekonomi bagi masyarakat kelas menengah ke bawah," ungkap Yan Sulistyo yang juga akademisi Universitas Sriwijaya Palembang itu saat dihubungi Jumat, 12 Agustus 2022.

Yan juga menilai momentum kenaikan tarif ojol saat ini sangat tidak tepat, pasalnya tanpa adanya kenaikan tarif pun mitra pengemudi sudah cukup kesulitan mendapatkan order. "Beberapa bulan belakang ini sudah cukup banyak mitra pengemudi yang berhenti menjalankan profesi ini karena permintaan jasa yang terus turun. Kenaikan tarif ini justru akan semakin menyulitkan pengemudi ojol memperoleh pemasukan," ujarnya.

Masyarakat Akan Kembali Gunakan Kendaraan Pribadi

Menurut Yan Sulistyo, dampak kenaikan tarif ini tidak hanya dirasakan oleh mitra pengemudi dan konsumen jasa angkutan orang, tapi juga masyarakat yang selama ini mengandalkan jasa angkutan barang dan makanan. Saat konsumen keberatan dengan tarif yang tinggi, maka mereka akan beralih menggunakan kendaraan pribadi.

"Jadi kemungkinan besar masyarakat akan beralih ke kebiasaan lama, beli makan sendiri, antar barang sendiri, dan menggunakan kendaraan sendiri. Sehingga permintaan jasa ojol akan mengalami penyusutan. Sangat dipahami sekali kalau mitra pengemudi ojol akan tidak senang dengan kebijakan kenaikan tarif ini," imbuhnya.

Investasi Bisnis Ride Hailing Ikut Turun

Pengamat Ekonomi Sumatera Selatan, Yan Sulistyo dalam webinar "Strategi UMKM Sumsel Bertahan di Masa Pandemi", Selasa 18 Agustus 2020 lalu. | Foto: Eva Pardiana/Kabar Siger

Yan Sulistyo juga menyoroti dampak negatif kenaikan tarif bagi perkembangan bisnis ride hailing di Indonesia. Jika tarif tinggi diterapkan, maka kemungkinan besar bisnis ride hailing ini tidak akan menarik lagi bagi mitra pengemudi maupun investor. Sehingga, nilai investasi dalam industri ini kemungkinan tidak akan besar lagi, sebab demand terus turun, sementara supply pun tidak berkembang. Akhirnya, perusahaan aplikator penyedia jasa transportasi online akan tumbang satu per satu.

"Coba kalau kita refleksikan ke belakang, sudah banyak mitra pengemudi yang mengundurkan diri, sebab dari sisi bisnis, menjadi mitra ojol ini dianggap tidak menguntungkan lagi. Jumlah orderan terus turun, bonus pun tidak ada lagi. Sehingga tidak menarik lagi bisnis ini bagi mitranya. Pemain-pemain baru di bisnis ride hailing pun tidak akan pernah muncul lagi. Jadi yang rugi akhirnya pemerintah itu sendiri," imbuh Yan.

Selain itu, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), biaya transportasi memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap kenaikan inflasi. Sehingga kenaikan tarif ojol, otomatis ikut menaikkan inflasi dan mempengaruhi daya beli masyarakat.

Kenaikan Tarif Ojol Sebaiknya Ditunda

Yan Sulistyo menegaskan ride hailing merupakan bisnis sektor swasta, dimana seharusnya pemerintah tidak ikut campur dalam penetapan tarif. Pemerintah sebaiknya hanya menetapkan tarif transportasi massa yang diselenggarakan pemerintah itu sendiri.

"Jadi saran saya, kenaikan tarif ojol itu sebaiknya ditunda, biarkan saja aturan tarif yang sebelumnya berlaku, sebab tarif yang sebelumnya sudah bisa diterima oleh mitra pengemudi dan konsumen. Kenaikan tarif justru membuat mitra pengemudi dan konsumen sama-sama dirugikan. Akhirnya kebijakan ini mubazir saja," paparnya.

Daripada mengeluarkan kebijakan kenaikan tarif, Yan berharap pemerintah fokus mendorong kebijakan yang melindungi serta meningkatkan kesejahteraan mitra pengemudi, seperti aturan mengenai jaminan kesehatan dan asuransi.

"Pemerintah sebaiknya mendorong aplikator agar memberikan jaminan tersebut kepada mitranya. Jika pemberian jaminan asuransi dan kesehatan ini membutuhkan biaya, perusahaan aplikator akan memasukan biaya tersebut sebagai dasar penetapan tarif. Yang mengalami untung dan rugi itu kan perusahaan aplikator, biarkan mereka menentukan tarifnya masing-masing," imbuhnya.

"Pemerintah tinggal memanggil asosiasi mitra pengemudi, lalu menanyakan apa saja perlindungan yang mereka butuhkan dan meminta perusahaan memberikan perlindungan yang dibutuhkan mitra. Lalu merangkul perusahaan aplikator untuk merumuskan kebijakan apa yang mampu mengembangkan bisnis ini. Jika ini dilakukan, semua akan happy. Aplikator happy, pengemudi happy, begitu juga masyarakat. Kalau tarifnya yang naik, justru semuanya tidak happy, sia-sia saja kebijakan itu diterbitkan," tandas Yan. (EP)

RELATED NEWS