Pemerintah Tetapkan Pajak Karbon Rp30 Per CO2e Mulai Januari 2022

Eva Pardiana - Rabu, 06 Oktober 2021 10:42
Pemerintah Tetapkan Pajak Karbon Rp30 Per CO2e Mulai Januari 2022Produk Batu Bara milik PT Timah Tbk. (sumber: PT Timah Tbk)

JAKARTA – Pemerintah segera merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi UU pekan ini. Dalam ketentuan ini, pemerintah menetapkan pungutan pajak karbon Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) mulai Januari 2022.

"Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau satuan yang setara," tulis RUU HPP  dikutip Selasa (5/10/2021).

RUU HPP ini telah disepakati DPR pada sidang tahap pertama 30 September, pekan lalu. Sidang lanjutan atau sidang paripurna akan dilangsungkan pekan ini.

Besaran pungutan yang disetujui DPR ini sebetulnya justru lebih kecil dari proposal dalam RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang awalnya diusulkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Pada awalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan agar tarif pajak karbon sebesar Rp75 per kilogram CO2e. Namun dalam RUU HPP, pemerintah kembali menurunkannya.

Pungutan pajak karbon sendiri merupakan yang pertama kalinya bagi Indonesia setelah melalui banyak pertimbangan. Dalam UU HPP nantinya, pemerintah membidik penerimaan pajak dari bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) khususnya yang memiliki energi batu bara.

Seperti terlihat dalam BAB VI draft RUU HPP, disebutkan bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Dan salah satu energi yang berdampak buruk tersebut adalah batu bara.

Sebagai bahan bakar fosil paling terbesar, batu bara menimbulkan masalah karena pengambilan, pengolahan, dan penggunaannya merusak yang lingkungan. Proses produksinya rentan terhadap pencemaran air, tanah dan udara.

Dalam RUU HPP, pemerintah berencana akan membuat peta jalan pajak karbon yang memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan, dan keselarasan antarberbagai kebijakan lainnya.

Ketentuan mengenai tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, mekanisme pengenaan pajak karbon, dan tata cara pengurangan pajak karbon diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Sementara itu, ketentuan mengenai subjek pajak karbon dan alokasi penerimaan pajak dari karbon untuk pengendalian perubahan iklim diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP).

Pendapatan Rp57 Triliun

Menurut analisis para ekonom, pajak karbon berpotensi mendatangkan penerimaan hingga Rp57 triliun. Angka itu setara 0,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Dengan pengenaan pajak karbon, maka membuat harga sejumlah energi melonjak. Harga batu bara diperkirakan bisa melejit 239%, gas alam 36% dan bensin 32%, menurut outlook International Monetary Fund (IMF).

Proyeksi tersebut berdasarkan trend pengenaan tarif karbon di beberapa negara, seperti Swedia dengan 108,8 Euro atau Rp1,8 juta per ton emisi karbon. Kemudian Swiss dan Liechtenstein yang mematok pajak karbon 90,53 Euro per ton CO2.

Sementara itu, Jepang, Singapura, Perancis, dan Chile diketahui mematok tarif pajak karbon di kisaran US$3 hingga US$49 per ton emisi karbon.

Namun pajak karbon ini diprediksi tidak akan berlangsung lama. Hal itu karena pemerintah mulai memproritaskan pengembangan energi terbarukan dan bakal memberhentikan pembangunan PLTU seperti tergambar dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN tahun 2021-2030.

Dalam proposal tersebut, pemerintah bertujuan memperbesar porsi pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mencapai target emisi karnon nol persen di masa depan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan target bauran EBT dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah 23% pada tahun 2025, sedangkan realisasi hingga 2020 baru mencapai sekitar 14%.

Dia menegaskan bahwa pencapaian yang masih kecil itu menjadi perhatian serius dari Pemerintah untuk penyediaan tenaga listrik hijau ke depan.

Dia mengatakan pemerintah terus terlibat aktif dalam memenuhi Paris Agreement. Salah satunya dengan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai dengan Nationally Determined Contributions/NDC pada tahun 2030 sebesar 29% dari Business as Usual (BaU) dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.

"RUPTL PLN 2021-2030 saat ini merupakan RUPTL lebih hijau karena porsi penambahan pembangkit EBT sebesar 51,6%, lebih besar dibandingkan penambahan pembangkit fosil sebesar 48,4%," ujar Arifin dalam Webinar Diseminasi RUPTL PT PLN (Persero) 2021-2030 di Jakarta, Selasa, 5 Oktober 2021.

Dia menjelaskan, saat ini komitmen untuk mengatasi perubahan iklim disikapi dengan roadmap menuju Net Zero Emission (NZE). 

Menurut dia, tuntutan untuk industri menggunakan energi yang hijau dan penyediaan listrik dari sumber energi yang rendah karbon menjadi tantangan tersendiri dalam penyediaan energi di Indonesia.

"Oleh karena itu pertumbuhan listrik pada RUPTL sebelumnya sudah tidak sesuai, untuk itu pada RUPTL PLN 2021-2030 diproyeksikan hanya tumbuh rata-rata sekitar 4,9%, dari yang sebelumnya 6,4%. Program 35.000 MW juga berjalan terus dan dalam dua tahun ke depan akan masuk sekitar 14.700 MW yang sebagian besar dari PLTU Batubara," jelas Arifin. (*)

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Daniel Deha pada 05 Oct 2021 

Editor: Eva Pardiana

RELATED NEWS