PBB Paparkan Negara yang Gagal Sistematik
Yunike Purnama - Kamis, 20 Juli 2023 20:16AS - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mewanti-wanti negara agar tak terjebak dalam krisis utang. PBB menyatakan suatu negara bisa disebut negara gagal sistemtik apabila bunga pinjaman yang mereka bayar lebih besar dari anggaran kesehatan dan pendidikan.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres, tak mengungkap negara mana saja yang mengalami kegagalan sistemik ini. Namun Guterres mengindikasikan banyak negara yang telah terjebak dalam perangkap utang sehingga gagal menyejahterakan warganya.
“Sekitar 3,3 miliar orang atau separuh penduduk dunia berada di negara yang gagal secara sistemik,” ujar Guterres dalam keterangannya di World of Debt Report, dikutip Kamis 20 Juli 2023.
Menurutnya, negara dianggap gagal ketika membelanjakan lebih banyak uang untuk pembayaran bunga utang daripada untuk membiayai pendidikan atau kesehatan. “Ini adalah fatamorgana. Sebanyak 3,3 miliar orang lebih dari sekadar risiko sistemik. Ini adalah kegagalan sistemik,” ujar Guterres.
Pihaknya menyebut sejumlah negara miskin di dunia saat ini dipaksa memilih antara membayar utang atau melayani warganya. Guterres menyebut negara-negara di Afrika hampir tidak memiliki ruang fiskal untuk investasi dalam pembangunan berkelanjutan.
- Redam Jejak Karbon, Bank Mandiri Luncurkan Kartu Ramah Lingkungan Pertama di Indonesia
- Penyaluran Kredit Baru Perbankan Meningkat di Triwulan II 2023
- Empat Tips Hindari Penipuan Online Modus Undangan Pernikahan
Suku Bunga Tinggi
Pihaknya menggarisbawahi tingkat utang publik saat ini terus meningkat. Pada 2022, utang publik global mencapai rekor US$92 triliun. Negara-negara berkembang disebut menanggung jumlah yang tidak proporsional.
Sebagian besar utang dipegang kreditur swasta yang mengenakan suku bunga tinggi kepada negara berkembang. “Rata-rata negara di Afrika membayar empat kali lebih banyak untuk meminjam daripada Amerika Serikat, delapan kali lebih banyak daripada negara-negara Eropa terkaya,” cetus Guterres.
Sebelumnya International Monetary Fund (IMF) mencatat 36 negara berada dalam status berisiko tinggi karena mengalami kesulitan membayar utang atau debt row. Sementara sebanyak 40% negara berkembang atau 52 negara berada dalam problem utang yang serius.(*)