Pandemi Covid Tak Tahu Kapan Usai, Bencana Baru Tunggu RI Tahun Depan
Yunike Purnama - Senin, 07 Juni 2021 09:37Kabarsiger.com, JAKARTA - Belum sempat tumbuh positif, perekonomian Indonesia sudah menghadapi tantangan untuk tahun depan. Tantangan terbuka yang mungkin terjadi dan harus diantisipasi adalah taper tantrum yang dikhawatirkan terjadi seiring dengan rencana pengetatan kebijakan bank sentral.
Saat ini bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve memang masih menahan suku bunga. Namun, sepertinya kenaikan Federal Funds Rate bisa terjadi lebih cepat dari perkiraan semula.
Mulanya, para peserta rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) condong dengan perkiraan suku bunga acuan naik pada 2023 mendatang.
Namun dalam proyeksi terbaru yang tercermin dari dotplot, semakin banyak anggota FOMC yang memperkirakan suku bunga acuan bisa naik tahun depan. Pelaku pasar, pun demikian.
Perkiraan ini terjadi setelah ekspektasi inflasi kini meninggi di negeri Paman Sam. Bahkan, The Fed sudah menaikkan proyeksi inflasi tahun ini dari 1,8% menjadi 2,4%. Artinya, kemungkinan suku bunga acuan AS naik lebih cepat sepertinya sebuah keniscayaan.
Kekhawatiran ini disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Dia mengungkap bahwa kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun ini akan bergantung pada data-data perekonomian pada kuartal kedua.
"Target kita di kuartal kedua melompat kurang lebih mencapai 7%. Bukan sesuatu yang mudah, bukan sesuatu yang gampang," kata dia dilansir dari CNBC Indonesia.
Jokowi menegaskan pada tahun ini pemerintah mematok angka pertumbuhan ekonomi di rentang 4,5% - 5,5%. Jika tidak mencapai angka pertumbuhan 7%, bukan tidak mungkin target pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun tidak tercapai.
"Jadi kalau enggak ketemu angka 7%, untuk mengejar ke pertumbuhan ekonomi tahun 2021 juga bisa menjadi tidak tercapai meskipun kita ada ketidakpastian ekonomi global, ada ketidakpastian pandemi," terangnya.
Indonesia memang dituntut untuk pulih lebih cepat agar terhindar dari risiko taper tantrum yang pernah terjadi kala 2013 lalu. Apalagi, kemungkinan besar bank sentral AS akan meninggalkan kebijakan ultra longgar untuk menuju pengetatan atau yang dikenal dengan istilah tapering off.
Saat itu terjadi, maka perekonomian domestik pun akan semakin kesulitan untuk pulih. Pasalnya, periode taper tantrum hanya akan membuat ketidakpastian semakin menjadi. Aliran dana asing pun akan pergi dari sejumlah negara berkembang menuju ke tempat yang lebih aman.
Kekhawatiran ini juga disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia mengatakan ada beberapa instrumen yang sedang disiapkan dalam mengantisipasi hal itu.
"Kita pernah belajar dari fenomena terdahulu seperti taper tantrum di tahun 2013, dimana ekspektasi normalisasi kebijakan moneter AS dapat mendorong pembalikan arus modal dari negara berkembang," terangnya.
Sejaan dengan itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga mewaspadai adanya tapering off atau pengurangan stimulus berupa pembelian surat berharga di pasar surat utang yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed.
"Di pasar keuangan memang terjadi kenaikan US Treasury yield karena stimulus fiskal yang besar US$ 1,9 triliun. Ketidakpastian ini masih berlangsung meskipun sudah sedikit mereda karena kejelasan arah The Fed yang tahun ini belum akan melakukan tapering," ungkapnya.
"Namun tahun depan, kita masih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed akan mulai mengubah kebijakan moneternya, mulai mengurangi intervensi likuiditas bahkan melakukan lakukan pengetatan dan kenaikan suku bunga," lanjut Perry.
Salah satu langkah untuk mengantisipasi hal ini adalah membentuk kerjasama dengan otoritas seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah terkait dengan pendalaman dan pengembangan pasar keuangan.
Pemerintah sepakat pasar keuangan domestik yang dalam, aktif, dan likuid sangat diperlukan dalam meningkatkan stabilitas pasar yang pada gilirannya akan menurunkan yield SUN.(*)