Mengenal Transformasi Sumber Daya Manusia di Sektor Publik: Menyikapi Gelombang Gig Economy
Yunike Purnama - Minggu, 27 April 2025 20:13
BANDARLAMPUNG - Dalam beberapa tahun terakhir, dunia kerja global mengalami pergeseran signifikan dengan munculnya sistem kerja berbasis proyek atau kontrak jangka pendek, dikenal sebagai Gig Economy.
Awalnya berkembang di sektor swasta, kini tren ini mulai merambah sektor publik. Pemerintah pun mulai mengevaluasi model kerja konvensional dan mempertimbangkan pendekatan yang lebih fleksibel dan efisienmelalui kontrak kerja sementara.
Sehingga, menimbulkan pertanyaan penting, "Apakah pola kerja semacam ini benar-benar membawa efisiensi dan kinerja lebih baik, atau justru mengancam profesionalisme dan stabilitas lembaga publik?”
Pola Gig Economy di Sektor Publik: Mirip, tapi Tidak Sama
Negara maju seperti Australia dan Kanada telah menerapkan model serupa dengan pendekatan yang lebih terstruktur. Mereka menggunakan konsep "contracting in", yakni mendatangkan tenaga ahli kontrak untuk proyek tertentu, namun tetap menjagakekuatan birokrasi inti (CSIRO Staff Association., 2020). Dengan demikian, fleksibilitas tercapai tanpa mengorbankanstabilitas dan profesionalisme.
Dalam konteks birokrasi di Indonesia, sejumlah instansi pemerintah dan BUMN menggunakan tenaga kerja non-ASNseperti outsorsing, analis data, guru honorer, petugas pemilu, tenaga kesehatan, dan tenaga administrasi dengan kontrak tanpakepastian kerja jangka panjang. Ini mencerminkan model Gig Economy di sektor publik, karena tenaga kerja tidak memilikistatus pegawai tetap dan bekerja berdasarkan proyek ataukontrak tertentu.
Akan tetapi, jika dibandingkan lebih dalam, pekerjaan merekasebenarnya tidak sepenuhnya mencerminkan karakter gig economy seperti yang terjadi di sektor swasta. Pekerja gig umumnya bebas memilih pekerjaan, penentuan waktu dan carabekerja, bahkan menggunakan platform digital sebagai media utama misalnya pengemudi ojek online atau freelancer desaingrafis (Himani Srihita et al., 2025). Sementara itu, pekerja kontrak di sektor publik tetap bekerja di bawah struktur yang lebih formal, jam kerja tetap diatur, dan tugas mereka ditentukanoleh instansi pemerintah
Kasus ini memang tidak sepenuhnya mencerminkan gig murni,kenyataannya mereka merasakakan gejala serupa: pekerjaansementara, hubungan kerja non-permanen, dan fleksibilitas darisisi pemberi kerja (dalam hal ini, pemerintah).
Disisi lain, fenomena ini bisa dilihat sebagai bentuk adopsi parsial dariprinsip gig economy yang terjadi dalam konteks birokrasi. Hal ini memperkuat argumen bahwa sektor publik juga sedangmengalami pergeseran dalam cara mengelola tenaga kerja, mengikuti logika efisiensi yang juga digunakan sektor swasta.
- UMKM Kopi Serius Pangan Nusantara Berhasil Tembus Pasar Dunia Berkat Pendampingan BRI
- TK IKBI Kebun Kedaton Pukau Pengurus Pusat IKBI PTPN I
- Jasa Raharja Bahas Strategi Tingkatkan Kepatuhan Pajak Bersama Gubernur Jawa Tengah
- Sosialisasi Keselamatan Transportasi di MAN 1 Mesuji, Upaya Tekan Angka Kecelakaan
Keuntungan Kontrak Jangka Pendek
Salah satu keunggulan utama sistem kerja kontrak adalahkemampuannya untuk menarik tenaga ahli dalam waktu cepat. Pemerintah bisa merekrut individu dengan keahlian spesifiktanpa harus melewati proses panjang seleksi ASN. Hal ini sangatberguna untuk kebutuhan bidang yang bergerak cepat sepertiteknologi informasi, pengolahan data, atau manajemen inovasi(Hartono & Tarigas, 2025). Fleksibilitas sistem kontrak juga mencegah birokrasi menjadi kaku akibat terlalu banyak pegawaitetap yang tidak relevan lagi dengan kebutuhan organisasi. Model kontrak jangka pendek juga dapat berfungsi sebagai masa uji bagi karyawan sebelum diangkat menjadi pegawai tetap, sehingga proses rekrutmen bisa lebih akurat dan berbasis kinerjadan membuka jalan bagi kolaborasi lintas sektor.
Alsanan ini sejalan dengan prinsip New Public Management(NPM), yang mendukung birokrasi menjadi lebih cepat, adaptif, dan berfokus pada hasil. Melalui kontrak jangka pendek, birokrasi dapat menyesuaikan kebutuhan SDM dengan proyektertentu, tanpa terikat beban jangka panjang. Model ini dianggaplebih hemat anggaran dan lebih cepat dalam memenuhikebutuhan organisasi yang dinamis (Hood & Management, 2013).
Resiko Profesionalisme keberlanjutan
Resiko pada sistem kontrak membawa risiko nyata, yaknigangguan terhadap kesinambungan organisasi. Pegawai kontrak, yang masa baktinya terbatas, cenderung fokus pada proyekjangka pendek dibandingankan membangun reformasi atauperubahan berkelanjutan. Akibatnya, akumulasi pengetahuaninstitusional yang menjadi kekuatan birokrasi bisa terancamhilang.
komitmen terhadap nilai-nilai pelayanan publik bisa melemahkarena pekerja kontrak mungkin tidak memiliki ikatan emosional yang kuat dengan institusi, mengurangi loyalitas dan semangat pengabdian.
Sehingga mereka lebih cenderung memandang pekerjaan sebagai transaksi ekonomi biasa daripada panggilan untuk melayani masyarakat.
Pegawai tetap menikmati perlindungan hukum, tunjangan, dan jalur karier yang jelas, sedangkan pegawai kontrak kerap menghadapi ketidakpastian, bahkan potensi eksploitasi.
Ketimpangan ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu ketidakpuasan dan melemahkan moral kerja di lingkungan organisasi publik.
Untuk memastikan bahwa adopsi elemen gig economy di sektor publik memberikan manfaat maksimal, pemerintah perlumerancang kebijakan kontrak kerja yang adil dan berkelanjutan. Hal ini mencakup pemberian hak-hak dasar seperti gaji layak, akses jaminan sosial, dan kejelasan status kerja.
Tenaga kontrak berprestasi juga sebaiknya diberi kesempatan transisi menujuposisi tetap. Selain itu, program pelatihan dan orientasi juga penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai pelayanan publiktetap melekat dalam diri pekerja kontrak.(*)
Penulis: Shafa fatiy al-adawiyah (Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Universitas Lampung)