Krisis Iklim Rugikan ASEAN hingga Rp1,53 Kuadriliun per Tahun
Yunike Purnama - Jumat, 08 September 2023 04:35JAKARTA—International Monetary Fund (IMF) memerkirakan kerugian ekonomi akibat ancaman krisis iklim di kawasan ASEAN mencapai US$100 miliar atau setara Rp1,53 kuadriliun per tahun. Angka tersebut dihitung dari dampak bencana alam, kebakaran hutan hingga kenaikan permukaan air laut yang menjangkau 190 juta penduduk atau 28,4% penduduk ASEAN.
Direktur Utama IMF Kristalina Georgieva mengatakan kenaikan suhu bumi yang terjadi saat ini menjadi ancaman serius bagi stabilitas makroekonomi dan finansial global. Menurut dia, ancaman krisis iklim makin nyata dan berpotensi memengaruhi ketahanan pangan, pembangunan daerah pedesaan, dan kemiskinan.
Pada Juli 2023, suhu udara rata-rata global berada di angka 17,08 derajat Celsius. Ini menjadi rekor suhu tertinggi dalam sejarah sejak pencatatan suhu dilakukan pada 1979. “Kita tahu bahwa suhu meningkat dua kali lipat, lebih cepat dari rata-rata global. Jal ini menyebabkan cuaca ekstrem yang lebih sering dan parah,” ujar Kristalina dalam pembukaan Indonesia Sustainability Forum (ISF) di Jakarta, Kamis 7 September 2023.
- Hyundai Jadi Produsen Mobil Listrik Terlaris di Indonesia
- Pertamina Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Muara Enim
- Minim Partisipasi Publik, Efektivitas Peraturan Turunan UU Kesehatan Diragukan
Pihaknya menyebut krisis iklim di kawasan ASEAN paling rentan terjadi di Indonesia, Vietnam, Filipina dan Myanmar. Tak hanya memicu bencana alam, krisis iklim menimbulkan kerugian fisik lantaran hilangnya tempat tinggal dan mata pencaharian. “Indonesia terkena dampak parah dari bencana alam kenaikan permukaan air laut,” ujar Kristalina.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan dampak krisis iklim bisa merembet pada kerugian ekonomi global mencapai US$23 triliun atau setara Rp352,5 kuadriliun hingga tahun 2050.
Luhut juga mengingatkan krisis iklim dapat menyebabkan tiga juta kematian setiap tahun. Menurut dia, dunia harus berkolaborasi untuk mengantisipasi dampak terburuk. “Kegagalan satu negara berarti kegagalan seluruh dunia. Kita harus bekerja sama, tidak ada yang tertinggal,” ujarnya.(*)