Kolaborasi Antar Negara Merupakan Kunci Penting Hadapi Krisis Global
Redaksi - Rabu, 12 Oktober 2022 12:34JAKARTA - Dampak pandemi terhadap ekonomi yang masih membekas dan situasi geopolitik yang makin memanas menyebabkan rantai pasok global terimbas. Kolaborasi kepemimpinan mutlak dibutuhkan guna memperbaiki ekosistem konektivitas tersebut. Sebagai tuan rumah Presidensi G20 2022, Indonesia punya peran penting memimpin kolaborasi agar potensi-potensi krisis dapat segera dieliminasi.
Gubernur Lemhanas RI Andi Widjajanto menjelaskan, situasi global saat ini telah memicu krisis pada tiga sektor yaitu; pangan, energi, dan finansial. Secara simultan, hal ini juga diperparah dengan meningkatnya tensi geopolitik yang disebabkan perang antara Rusia dengan Ukraina. Imbasnya muncul ketidakpastian yang dapat memicu resesi global dan mempersulit upaya pemulihan ekonomi paska pandemi.
“Seperti yang diungkapkan Presiden Joko Widodo bahwa tahun ini merupakan tahun yang berat, dan tahun depan akan menjadi tahun yang gelap. Saat Indonesia menerima mandat sebagai tuan rumah G20 tahun ini, fokus kita adalah bagaimana mendorong pemulihan ekonomi pascapandemi. Saat amanat Presidensi G20 dijalankan, muncul situasi geopolitik yang membuat dunia makin keras,” ungkap Andi saat membuka Seminar Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXIV Lemhanas RI Tahun 2022 bertajuk Kolaborasi/Kepemimpinan G20: Konektivitas dan Rantai Pasok Global di Jakarta, Selasa (11/10/2022)
Oleh karenanya, Andi menilai Presidensi G20 2022 di Indonesia saat ini makin menantang. Karena tak hanya berupaya sebagai momentum pemulihan ekonomi dunia pasca-pandemi, melainkan juga sebagai sarana memimpin kolaborasi antar negara dalam mendorong resolusi global.
“Seminar PPRA LXIV Lemhanas RI Tahun 2022 salah satunya hadir sebagai forum untuk memberi masukan-masukan kepada pemerintah, termasuk Presidensi G20. Karena peserta di Lemhannas telah dibekali perspektif ketahanan nasional saat menghadapi krisis. Mari kita bersama-sama mendorong kolaborasi dan meninggalkan permusuhan, sekaligus meninggalkan upaya saling mengisolasi, dan marjinalisasi antarnegara,” sambung Andi.
Pidato Presiden Jokowi Widodo yang dibacakan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto turut menyoroti situasi global yang menjadi tidak kondusif. Situasi ini membuat kepemimpinan Indonesia pada Presidensi G20 tahun ini menjadi lebih kompleks sekaligus makin vital. Sebab, rentetan krisis dan seteru geopolitik memiliki dampak buruk yang sangat masif.
“Kepemimpinan Indonesia sebagai Presiden G20 merupakan sebuah tanggung jawab dan amanah yang besar bagi Indonesia karena pandemi Covid-19 di dunia belum selesai, sementara pemulihan global masih terpecah-pecah dan terjadi secara tidak merata di berbagai negara. Sementara itu, dalam waktu kurang dari 3 bulan Presidensi Indonesia, dunia dikejutkan dengan perang Rusia-Ukraina, dan tidak dapat disangkal tanggung jawab G20 jauh menjadi lebih kompleks,” ujar Menko Airlangga.
Kepemimpinan Indonesia di G20 menjadi lebih penting akibat perang tersebut. Menko Airlangga mengatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi global direvisi ke bawah karena inflasi yang tinggi, harga komoditas, pengetatan kebijakan moneter, volatilitas pasar keuangan, terutama di negara-negara berkembang.
IMF memprediksikan pertumbuhan tahun ini sebesar 3,2% akan menurun tahun depan menjadi 2,9% di tahun 2023. Kondisi ini sering disebut the perfect storm atau tantangan akibat 5C yaitu Covid 19 yang belum selesai, (conflict) konflik Ukraina, perubahan iklim (climate change), tingginya harga komoditas (commodity price increase) dan tingginya biaya hidup sampai terjadi inflasi (cost of living) yang berakibat kepada inflasi. Akibatnya terjadi krisis energi dan pangan.
“Bahkan jumlah orang yang mengalami kerawanan pangan meningkat dua kali lipat dari 135 juta orang sebelum pandemi menjadi 276 juta hanya dalam dua tahun. Kini bahkan bisa meningkat sampai 323 juta orang sebagai efek dari perang Rusia dan Ukraina,” papar Menko Airlangga.
Kondisi konflik dan krisis global ini pada akhirnya tak hanya berpengaruh terhadap negara-negara yang memiliki kepentingan, namun juga negara lainnya di seluruh dunia. Pasalnya, hal ini turut memengaruhi konektivitas serta rantai pasok global hingga berujung resesi. Di sini, Indonesia dapat memainkan peranan penting sebagai tuan rumah Presidensi G20 2022 untuk mendorong terciptanya kerja sama strategis sekaligus memperbaiki konektivitas global.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, yang turut memberikan sambutan, menjelaskan bahwa sejauh ini Presidensi G20 2022 di Indonesia secara perlahan memang telah menjadi jembatan atas dinamika situasi global saat ini. Ia menjelaskan, kepercayaan global terhadap Indonesia meningkat cukup signifikan dengan politik bebas aktif yang dilakukan.
“Trust must be earned. Dengan pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, kita memperoleh kepercayaan global. Bebas aktif adalah bebas menentukan pilihan dan tidak terikat pilihan mana pun. Kiblat kita jelas adalah kepentingan nasional. Semoga selama Indonesia berdiri, kita tidak jadi permasalahan dunia, tapi jadi solusi,” ungkap Menteri Retno.
Dalam memimpin aksi resolusi global melalui Presidensi G20 2022 ini, Retno menjelaskan, Indonesia juga selalu mengedepankan paradigma kolaborasi, bukan kompetisi. Termasuk saat Sidang Majelis PBB ke-77. Indonesia dituntut untuk sukses menyelenggarakan Presidensi G20. Jika gagal, taruhannya terlalu besar. Nasib dan kesejahteraan miliaran penduduk dunia terutama negara berkembang akan terdampak.
"Kolaborasi dengan paradigma win win, bukan zero sum. Paradigma kolaborasi, bukan kompetisi, dan paradigma engagement bukan containment. Pandemi mengajarkan pelajaran berharga bahwa no one is safe until everyone is," terang Retno.