Kebijakan Limbah Plastik Australia Berpotensi Picu Perdagangan Beracun
Chairil Anwar - Rabu, 02 Maret 2022 18:06JAKARTA – Lembaga swadaya masyarakat (LSM) The International Pollutants Elimination Network (IPEN) merilis serangkaian penelitian yang mengungkapkan adanya pembaharuan kebijakan pengolahan limbah di Australia.
Berdasar rilis tersebut, kebijakan pengolahan limbah dapat mendorong investasi besar-besaran dalam pemprosesan sampah plastik menjadi bahan bakar sehingga memicu perdagangan “beracun” di Asia Tenggara.
Menurut Koordinator Kampanye Zero Waste Australia Jane Bremmer, setelah Cina dan negara-negara Asia Tenggara melarang impor limbah plastik sejak tahun 2018, Australia sudah mengumumkan akan berhenti mengekspor limbah yang tidak diproses pada 2020.
“Australia telah secara efektif mengubah nama sampah plastik menjadi bahan bakar yang berasal dari sampah (refure-derived fuel/RDF) sehingga dapat terus memperdagangkan ekspor sampah,” ujar Bremmer sebagaimana dikutip dari keterangan resmi IPEN, Selasa, 1 Maret 2022.
- Laba Moncer! BTN Bagikan Dividen Total Rp 237,62 Miliar
- Livin by Mandiri Berikan Biaya Transfer Gratis Antar Bank, Simak Caranya!
- Kurangi Emisi Karbon, Pupuk Indonesia Kembangkan Pupuk Ramah Lingkungan
Hasil penelitian IPEN pun mencatat sikap Australia merusak Konvensi Basel tentang Pengendalian Pergerakan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya serta komitmen terkait perubahan iklim global. Sebagai informasi, Konvensi Basel adalah kesepakatan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang berhubungan dengan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (LB3).
“Kami prihatin dengan kebijakan 'kuda trojan' sampah plastik Australia dan kemampuan negara-negara Asia Tenggara untuk menangani limbah bahan bakar yang berasal dari sampah dengan aman. Kami juga ingin memperjelas bahwa pembakaran RDF tidak dapat dianggap sebagai sumber energi atau listrik yang rendah karbon,” ungkap dia.
Bremmer menambahkan, RDF akan bersaing dengan energi bersih dan terbarukan di Australia serta kawasan Asia-Pasifik. Kurangnya standar internasional atau rangkaian peraturan untuk produksi, perdagangan, dan penggunaan RDF dinilai Bremmer sebagai ancaman bagi kesehatan, lingkungan, dan hak asasi manusia, khususnya di negara berkembang.
Dalam penelitiannya, IPEN menyelidiki dua identifikasi masalah. Yang pertama berkenaan dengan kebijakan Australia tentang pengelolaan dan ekspor limbah, sedangkan yang kedua berhubungan dengan kapasitas Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk mengelola limbah sisa, termasuk impor, serta kerangka peraturan dan undang-undang yang mengatur penggunaan RDF.
Dari identifikasi masalah yang pertama, IPEN memperoleh hasil studi yang menjelaskan bagaimana undang-undang limbah yang baru-baru ini diusung di Australia telah mendorong infrastruktur bahan bakar limbah plastik dan perencanaan untuk mendanai dan mempromosikan ekspor RDF di seluruh Asia Tenggara.
Penelitian IPEN juga menunjukkan UU Amandemen Limbah Berbahaya Australia yang disahkan pada Juni 2021 telah gagal merujuk pada Amandemen Larangan Konvensi Basel yang baru. Kegagalan itu pada gilirannya membuat bertahannya hak hukum domestik Australia untuk membuang limbah ke negara-negara tetangga yang lebih miskin.
IPEN memaparkan bahwa limbah plastik campuran dalam bentuk RDF terbukti mengandung berbagai aditif kimia beracun, termasuk polutan organik persisten, logam berat, dan bahan kimia pengganggu endokrin.
Saat digunakan sebagai bahan bakar, RDF dapat menghasilkan dioksin dan furan yang sangat beracun dan dapat mencemari rantai makanan lokal. Secara keseluruhan, studi IPEN menunjukkan bahwa beban impor RDF tidak bersifat proporsional dan berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat lokal.
Koordinator Nasional EcoWaste Coalitioan Filipina Aileen Lucero mengatakan adanya temuan yang menunjukkan bahwa penggunaan RDF mengalami peningkatan di Filipina. Hal itu pun memicu masalah dan tantangan perdagangan limbah yang ada di negara tersebut.
“Negara-negara berkembang di ASEAN terus menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah bagi dunia maju dan industri. Ini tidak hanya memperburuk risiko lingkungan dan kesehatan, tetapi juga memperkuat krisis limbah yang dihadapi negara-negara seperti Filipina,” kata Lucero.
Senior Research Officer Asosiasi Konsumen Penang, Malaysia, Mageswari Sangaralingam, pun mengatakan meskipun Pemerintah Australia mengumumkan larangan ekspor limbah pada tahun 2020, pada faktanya negara tersebut terus mengekspor limbah dan melabelinya sebagai produk bahan bakar.
“Australia akan menghindari larangan ekspor limbahnya sendiri dengan mengirimkannya sebagai produk 'energi dari limbah' ke wilayah lain,” ujar Mageswari.
Sementara itu, Senior Advisor Nexus 3 Foundation Indonesia Yuyun Ismawati memperingatkan terburu-burunya Indonesia dalam berinvestasi di fasilitas RDF merupakan sinyal ancaman polusi yang besar bagi negara-negara di Asia Tenggara.
“Mendandani industri pembakaran RDF sebagai juara polusi iklim melalui cofiring dan solusi utama untuk pengelolaan limbah dan krisis energi adalah hal yang sangat salah,” ucapnya.
Berdasarkan simpulan penelitian, IPEN pun menyuarakan rekomendasi kepada pihak-pihak yang berwenang terkait upaya mengatasi ekspor RDF, di antaranya menegaskan larangan ekspor dan impor limbah RDF, mencantumkan RDF dan limbah plastik sejenis sebagai bahan berbahaya, serta menangguhkan penggunaan RDF di semua fasilitas di seluruh kawasan ASEAN.
IPEN pun memaparkan potensi RDF untuk menghasilkan dioksin membutuhkan penilaian ilmiah yang menyeluruh dan transparan. Industri-industri yang menggunakan energi tinggi pun diharapkan dapat melompati seluruh paradigma pembakaran limbah dan bergerak cepat ke substitusi dengan bahan bakar bersih seperti hidrogen hijau untuk menggantikan bahan bakar fosil. (RIL)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 02 Mar 2022