Interaksi Obat Penyebab Pasien Covid-19 Meninggal? Ini Kata Guru Besar Farmasi UGM
Eva Pardiana - Rabu, 14 Juli 2021 12:24Kabarsiger.com, Bandarlampung – Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof Zullies Ikawati menyatakan bahwa hal tersebut tidak benar. Menurutnya interaksi obat tidak serta merta memicu seseorang meninggal dunia termasuk pasien Covid-19.
Hal ini ditegaskan Zullies menjawab video viral di masyarakat yang menyatakan bahwa interaksi obat menjadi penyebab pasien Covid-19 meninggal.
“Interaksi obat tidak semudah itu membuat mati. Dan hal ini menunjukkan juga perlunya kerja sama antar tenaga kesehatan dalam memberikan terapi kepada pasien (dokter, perawat, apoteker, dan lainnya) sehingga dapat memantau terapi dengan lebih cermat,” kata Zullies dikutip dari situs resmi UGM, Rabu (14/7/2021)
Zullies menjelaskan interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien. Sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya karena sifat interaksi itu bisa bersifat sinergis atau antagonis.
“Bisa meningkatkan, atau mengurangi efek obat lain. Interaksi obat juga ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Jadi, tidak bisa digeneralisir dan harus dikaji secara individual,” katanya.
Menurutnya, banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat, apalagi jika penyakitnya lebih dari satu. Bahkan, satu penyakit pun bisa membutuhkan lebih dari satu obat seperti hipertensi. Pada kondisi hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat tunggal maka dapat ditambahkan obat antihipertensi yang lain, bahkan bisa kombinasi dua atau tiga obat antihipertensi.
“Pada Covid yang bergejala sedang sampai berat misalnya, sangat mungkin diperlukan beberapa obat untuk mengatasi berbagai gejala tersebut. Justru jika tidak mendapatkan obat yg sesuai dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian,” tegas Zullies.
Interaksi obat bisa merugikan jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yang digunakan bersama. Atau bisa juga adanya suatu obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama sehingga akan semakin meningkatkan risiko total efek sampingnya.
Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan. Zullies memberi contoh obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung maka bisa terjadi efek total yang membahayakan jika digunakan bersama. Selain itu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan.
Lalu, bagaimana menghindari interaksi obat? Menurut Zullies sebetulnya itu tergantung dari mekanisme interaksinya, apakah pada aspek farmakokinetik (memengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain), atau farmakodinamik (ikatan dengan reseptor atau target aksinya).
Ada interaksi obat yang bisa dihindari dengan cara mengatur cara pemberiannya supaya tidak diberikan dalam satu waktu, ada pula yang diatur dengan cara menyesuaikan dosis, atau bahkan ada yang dihindari dengan mengganti sama sekali dengan obat lain yang kurang berinteraksi.
“Sekali lagi, hal ini tidak bisa digeneralisir dan harus dilihat kasus demi kasus secara individual. Bahkan, kadang tidak semua kejadian interaksi obat itu bermakna klinis, walaupun secara teori ada kemungkinan interaksi,” terang Zullies. (TA)