Ganti Rugi Kasus Karhutla Sebesar Rp 3,4 Triliun Belum Masuk Kas Negara

Mei Leandha - Minggu, 27 Juni 2021 20:04
Ganti Rugi Kasus Karhutla Sebesar Rp 3,4 Triliun Belum Masuk Kas Negara Wokshop Jurnalis Build Back Better “Karhutla dan Komitmen Penegakan Hukum” yang diselenggarakan SIEJ (sumber: Handout)

JAKARTA - Pembayaran ganti rugi dari perusahaan pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia yang telah berkekuatan hukum (inkrach) dalam putusan perkara perdata sebesar Rp 3,4 triliun lebih sampai hari ini belum masuk kas negara.

Data itu tercatat dari kasus karhutla pada 2015-2021 yang berhasil dimenangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum). Saat ini, hanya Rp 78,5 miliar pembayaran ganti rugi yang berhasil di eksekusi.

Selama kurun waktu tersebut, Gakkum KLHK berhasil mencabut tiga izin operasional, 16 pembekuan izin, 91 paksaan pemerintah, menerbitkan 633 surat peringatan dan 743 sanksi administratif. Serta pengawasan terhadap 638 perusahaan dan indvidu yang melakukan aktivitas kehutanan dan lahan di Indonesia. Selain itu, tercatat 11 kasus  
karhutla telah inkracht dengan pidana dan denda, tiga masih P-21 dan lima perusahaan dalam proses sidik.

Direktur Penegakan Hukum Pidana Dirjen Gakkum KLHK Yazid Hurhuda mengungkapkan, proses eksekusi denda dari perusahaan pelaku karhutla masih terkendala teknis di lapangan maupun birokrasi karena wewenang eksekusi  
sepenuhnya ada di tangan pengadilan.

“Dalam gugatan perdata, kami legal standing-nya sebagai penggugat mewakili kepentingan lingkungan yang rusak akibat karhutla. Ada yang menang dan inkracht, tapi eksekusi putusan menjadi wewenang ketua pengadilan di mana kasus  diperkarakan. Kami memohon dieksekusi, mendorong dan menghadap ketua pengadilan negeri. Tapi banyak pertimbangan dan permasalahan teknis di lapangan,” kata Yazid dalam Wokshop Jurnalis Build Back Better “Karhutla dan Komitmen Penegakan Hukum”  yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) secara daring, Sabtu (26/6/2021).

Salah satunya adalah menghitung aset dari perusahaan yang digugat. Pihaknya kesulitan mengajukan penyitaan aset sebagai alat pemenuhan bukti untuk memenangkan gugatan.

“Praktik di lapangan tidak mudah. Waktu itu yang penting kita gugat dulu dan menang dulu. Begitu menang dan mengajukan eksekusi, dipertanyakan asetnya. Karena itu, kita sekarang dalam proses menelusuri aset agar bisa diajukan ke pengadilan untuk dieksekusi,” imbuhnya.

Belum lagi tantangan di lapangan. Banyak intervensi dan perlawanan fisik dan psikis, digugat pra peradilan, dipidanakan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan hingga penyidik dilaporkan ke polisi dan dijadikan tersangka. Yazid mencontohkan kasus karhutla di Aceh. Pihaknya mendapat perlawanan saat datang untuk menghitung harga kebun sawit. 

“Kita dihadapkan pada warga atau pekerja kebun dan akhirnya diperintahkan mundur. Personel terbatas, jadi selain berbahaya juga untuk menghindari konflik,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, guru besar perlindungan hutan dari Fakultas Kehutanan IPB Bambang Hero Saharjomengatakan, penanganan kasus karhutla tidak sederhana dan butuh waktu lama dalam proses pembuktian. Butuh bukti sains dan teknologi untuk mengungkap kasus tersebut.

“Kita harus bicara scientific evident dalam menelusuri lokasi kebakaran dan mengungkap penyebabnya. Apakah itu ketidaksengajaan atau by design. Bagaimana mungkin bisa menghitung ribuan hektare lahan terbakar dalam waktu satu hari, tahu di mana titik awal lokasi terbakar dan siapa pelakunya. Teknologi juga sangat membantu dalam pembuktian,” kata ahli karhutla ini.

Banyak kasus sukses dibuktikan seperti kasus yang melibatkan perusahaan sawit Wilmar Nabati Indonesia di Kalimantan Barat yang terbukti melakukan pembakaran lahan hingga bantuan pembiayaan dari Bank Dunia untuk perusahaan ini dicabut.

Sementara itu, analisis Greenpeace Asia Tenggara menemukan: antara 2015–2019, seluas 4,4 juta hektar lahan terbakar di Indonesia. Sekitar 789.600 hektar (18 persen) telah berulang kali terbakar. Seluas 1,3 juta hektar (30 persen) dari area kebakaran yang dipetakan berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas (pulp). Karhutla tahunan terburuk sejak 2015  membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan atau setara 27 kali luas wilayah DKI Jakarta.

Data analisis jejak kebakaran yang terjadi dalam lima tahun terakhir berada di tujuh provinsi rawan kebakaran hutan yakni Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Global Project Leader of Indonesia Forest Campaign di Greenpeace Southeast Asia Kiki Taufik menyebutkan, sebanyak 258 sanksi administratif diterbitkan dengan 51 tuntutan pidana dan 21 gugatan perdata. Delapan dari sepuluh perusahaan kelapa sawit dengan area terbakar terbesar di konsesi mereka dari 2015 hingga 2019, belum menerima  
sanksi apapun.

“Kenapa kebakaran berulang terus terjadi? Dari 1,6 juta hektare, 600 ribu hektare lahan kebakaran berulang di lokasi yang sama  meski pemerintah punya komitmen kuat. Misalnya, total kebakaran lahan konsesi Sinarmas Grup dalam lima tahun mencapai 283 ribu hektare. Pada 2019 terbakar 73 ribu hektare. Kebakaran hingga 11 persen dari luas lahan. Bagaimana praktik di lapangan dan kenapa tidak ada efek jera,“ tanya Kiki.

"Menariknya lagi, wilayah yang terbakar pertama kali diindikasikan akan jadi lahan perkebunan kelapa sawit," sambung dia.

Ketua Umum SIEJ Rochimawati menekankan pentingnya media mengangkat dan mengawal isu kebakaran hutan dan lahan serta penegakan hukumnya.  

“Jurnalis dan media punya peran besar untuk mengangkat isu ini, selama ini monitoring kasus karhutla masih lemah. Upaya menekan kasus mendapat perhatian penegak hukum, perusahaan, pemerintah dan masyarakat apabila terus disuarakan. Apalagi di tengah kondisi pandemi ini,” katanya.

Dalam laporan Bank Dunia, total kerugian ekonomi dari kebakaran hutan di Indonesia pada 2019 mencapai US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 72,9 triliun. Nilai tersebut setara dengan 0,5  persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kebakaran hutan kerap terjadi karena ulah manusia yang membuka lahan dengan cara dibakar. Lima tahun terakhir, terjadi 17 ribu lebih peristiwa karhutla di sejumlah daerah. 

Data BNPB menunjukkan, terjadi penurunan drastis sebanyak 81 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada 2019, karhutla berdampak terhadap 1.649.258 hektare. Pada 2020, berdampak terhadap 296.942 hektare. Dalam Rakornas Penanggulangan Bencana 2021, per Januari 2021 terjadi 173 peristiwa karhutla dengan luas lahan 35.273 hektare.

Komitmen penanganan karhutla ditunjukkan Presiden Joko Widodo sejak 2014 dengan menyerukan perlindungan gambut secara menyeluruh dan melarang usaha di lahan gambut serta mengembalikan fungsi lahan-lahan gambut. Komitmen ini dikuat dengan regulasi terbaru melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Karhutla. [Me1]

 

RELATED NEWS