ojk
Penulis:Yunike Purnama
Kabarsiger.com, BANDARLAMPUNG – Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen menjelaskan, pada awalnya kegiatan fintech crowdfunding diatur dalam POJK Nomor 37 Tahun 2018, tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi atau sering disebut Equity Crowdfunding.
Namun setelah dievaluasi ulang, Hoesen mengakui bahwa kegiatan equity crowdfunding itu ternyata masih memiliki banyak keterbatasan.
"Diantaranya yakni aturan di mana para pelaku usaha harus berbadan hukum perseroan terbatas (PT), dan jenis efek yang dapat ditawarkan hanya berupa saham," kata Hoesen dalam telekonferensi, Selasa (8/6/2021).
Sebagai gambaran, sampai dengan akhir Desember 2020 lalu jumlah penerbit atau pelaku UMKM yang memanfaatkan equity crowdfunding dari empat penyelenggara, baru mencapai 129 penerbit.
"Dengan jumlah dana yang dihimpun mencapai lebih dari Rp191 miliar," ujarnya.
Jika dibandingkan dengan total UMKM yang ada di Indonesia, yang menurut data Kemenkop UKM tahun 2018 telah mencapai sebanyak 64 juta pelaku usaha, maka Hoesen mengakui bahwa jumlah tersebut masih terbilang sangat sedikit.
Karenanya, dengan berkaca dari evaluasi yang telah dilakukan terkait dukungan terhadap sektor UMKM, OJK pun akhirnya memutuskan untuk mencabut POJK Nomor 37 Tahun 2018, dan menggantinya dengan POJK Nomor 57 Tahun 2020.
Dia mengakui, pasca diterbitkannya POJK Nomor 57 Tahun 2020 ini, hingga 31 Mei 2021 kemarin total penyelenggara sudah bertambah menjadi lima, dan jumlah penerbit pelaku UMKM yang memanfaatkan equity crowdfunding ini juga mengalami pertumbuhan sebesar 17 persen lebih secara ytd menjadi 151 penerbit.
Perkembangan Pembiayaan Securities Crowdfunding di Lampung
Dari perubahan ketentuan POJK bertujuan untuk memperluas jenis pelaku usaha yang dapat terlibat, dari yang sebelumnya hanya membolehkan PT saja namun sekarang juga badan usaha lainnya seperti CV, firma, dan koperasi.
Kepala OJK Provinsi Lampung Bambang Hermanto mengatakan, dalam perubagan POJK di samping memberikan kemudahan pada sisi penerbit, yaitu pelaku UMKM, kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi investor ritel, khususnya yang berdomisili di daerah UMKM yang menerbitkannya berdomisili.
"Untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi di daerahnya masing-masing termasuk Provinsi Lampung," ujar Bambang dalam pertemuan Media Update beberapa waktu lalu.
Namun, masih beberapa ada kendala yang terjadi di daerah salah satunya dari faktor fintech belum mampu support terkait pembiayaan securities crowdfunding hingga UMKM yang belum paham terkait metode pembiayaan tersebut.
Hal ini masih akan terus menjadi fokus OJK bersama Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI) sebagai penaung penyelenggara equity crowdfunding melakukan perluasan literasi sehingga kedepan masyarakat khususnya UMKM lebih paham terkait pembiayaan securities crowdfunding.(*)