Sisi Lain Perkembangan Generative AI, Ternyata Bisa Dimanfaatkan untuk Kejahatan Siber

2023-08-05T09:56:57.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Redaksi

Kecerdasan buatan generatif atau generative artificial intelligence (AI) kini tengah menjadi tren seiring dengan adopsi teknologi yang terus berkembang pesat pascapandemi.
Kecerdasan buatan generatif atau generative artificial intelligence (AI) kini tengah menjadi tren seiring dengan adopsi teknologi yang terus berkembang pesat pascapandemi.

BANDARLAMPUNG - Kecerdasan buatan generatif atau generative artificial intelligence (AI) kini tengah menjadi tren seiring dengan adopsi teknologi yang terus berkembang pesat pascapandemi. Namun, ada sisi lain dari teknologi ini yang mana kemampuannya bisa dimanfaatkan untuk kejahatan siber. 

Generative AI adalah teknologi kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan konten dalam bentuk teks, suara, musik, gambar, hingga karya seni.

Salah satu platform generative AI yang ramai digunakan saat ini misalnya ChatGPT, yaitu sebuah chatbot berupa model bahasa generatif yang mampu memprediksi probabilitas kalimat dari teks yang diberikan.

Selain ChatGPT, masih banyak kecerdasan buatan generatif lainnya yang dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk keperluan-keperluan tertentu, mulai dari menulis teks copywriting, membuat artikel berita, hingga membuat karya seni.

Bahkan, dalam kompetisi seni lukis tahunan di Colorado Amerika Serikat pada tahun 2022, seorang kreator yang bergelut di bidang AI bernama Jason Allen menjadi pemenang dengan mengirimkan karya yang dibuat melalui kecerdasan buatan generatif dan membuat kompetitor-kompetitornya kesal karena karya yang dipilih bukan hasil buatan manusia sepenuhnya. 

Kecerdasan generatif ini pun tidak hanya dimanfaatkan secara personal karena kemampuan machine learning yang dimilikinya pun bisa bermanfaat untuk keperluan bisnis yang saat ini semakin bergeser ke arah digitalisasi.

Ensign InfoSecurity, penyedia layanan keamanan siber pure-play dan end to end yang berpusat di Singapura, turut menyoroti potensi bahaya siber dari generative AI ini.

Vice President of Advisory Ensign InfoSecurity Teo Xiang Zheng mengatakan, kemampuan AI generatif ini memang bisa bermanfaat bagi banyak pihak, namun tentunya ada risiko yang harus diwaspadai. 

Teknologi kecerdasan buatan generatif ini bisa dimanfaatkan untuk kejahatan siber, dan Teo memberikan contoh teknologi deepfake sebagai salah satu instrumen yang bisa diperkuat melalui kemampuan generative AI. 

Deepfake sendiri adalah teknologi yang bisa menciptakan sintesis citra manusia melalui kecerdasan buatan. Dengan teknologi deepfake, siapapun bisa memalsukan suara, gambar, hingga video dengan meniru citra dari orang lain.

Beberapa tahun lalu, peneliti dari University of Washington memperlihatkan cara kerja dari deepfake, yang mana pada saat itu mereka memperlihatkan video mantan presiden Amerika Serikat (AS) Barrack Obama sedang berbicara dengan gambar dan suara yang benar-benar sama persis dengan dirinya.

Padahal, video itu dibuat dengan orang lain yang tentunya memiliki wajah dan suara yang berbeda. Melalui teknologi pemalsuan yang didukung oleh kecerdasan buatan, peniruan yang sangat realistis itu pun jadi memungkinkan.

Dengan adanya kecerdasan buatan generatif, teknologi deepfake ini pun bisa membuat pemalsuan yang dibuat semakin sulit dibedakan dengan yang asli. 

Dengan pembedaannya yang semakin sulit untuk dilakukan, teknologi deepfake yang disokong oleh generative AI pun akan semakin berbahaya.

Teo memberikan contoh bagaimana deepfake dapat dibuat untuk menciptakan berita hoaks atau pun digunakan untuk merampas uang dari seseorang.

“Misalnya, di tahun politik ini, bisa jadi teknologi deepfake digunakan untuk menciptakan berita-berita palsu yang menyesatkan untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu,” ujar Teo dalam acara diskusi bersama media di Oakwood Mega Kuningan, Jakarta, Rabu, 2 Agustus 2023. 

Kemudian, terkait dengan perampasan uang, teknologi deepfake bisa saja dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk mengakses layanan perbankan dari targetnya.

Melalui penyamaran suara dan gambar yang sama persis, bisa saja ada pihak yang meniru seseorang untuk melakukan akses ke layanan perbankan dan lolos dari verifikasi karena peniruan yang sulit dibedakan dengan yang asli.

“Contohnya, seseorang bisa menelepon bank dengan mengaku-ngaku sebagai nasabahnya dengan menggunakan deepfake,” lanjut Teo. 

Teo pun menambahkan bahwa dengan semakin berkembangnya teknologi deepfake, kini setiap orang harus benar-benar lebih waspada lagi terhadap segala informasi yang ada, entah itu informasi yang ditujukan secara personal ataupun informasi yang disajikan di media sosial.

Teknologi deepfake ini pun sudah tidak bisa dipungkiri lagi keberadaannya seiring dengan adopsi generative AI yang masih terus berlanjut. Oleh karena itu, mempertebal keamanan siber adalah aspek yang harus senantiasa dipenuhi baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam aktivitas bisnis.

Seperti dikatakan oleh Teo, dengan pandemi yang memaksa banyak orang untuk masuk ke ekosistem digital, kini aspek keamanan siber sudah menjadi bagian dari kehidupan setiap orang.

Untuk pelaku bisnis, aspek keamanan siber merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena digitalisasi sendiri sudah menjadi bagian dari bisnis.

“Di zaman sekarang ini, digital is business and business is digital,” pungkas Teo. (*)