Penulis:Ananda Astri Dianka
Jakarta – Berbagai jenis dari produk tembakau alternatif kini terus bermunculan, diantaranya adalah rokok elektrik (e-cigarettes) dan produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco products). Namun, banyak yang belum mengetahui persamaan dan perbedaan antara kedua produk tersebut secara rinci.
Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Amaliya, mengatakan saat ini masih banyak yang mengira bahwa rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan adalah jenis yang sama, padahal tidak. Keduanya, memang merupakan bagian dari kategori produk tembakau alternatif, yang berdasarkan sejumlah penelitian ilmiah, memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.
“Persamaan dari keduanya adalah perannya sebagai alat pengantar nikotin. Selain itu, hasil penggunaan dari kedua produk tersebut tidak menghasilkan asap, melainkan uap serta tidak menghasilkan abu,” kata Amaliya.
Adapun perbedaan mendasar antara rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan yakni pada bahan baku yang digunakan dan cara kerjanya. Pada rokok elektrik, bahan bakunya berupa cairan nikotin yang diekstraksi dari tembakau atau sumber lainnya. Cairan tersebut dipanaskan oleh atomizer atau sistem pemanas di dalam rokok elektrik. Meski mengandung nikotin, rokok elektrik tidak menghasilkan TAR karena cairan nikotin tersebut diproses dengan cara dipanaskan bukan dibakar.
Sedangkan pada produk tembakau yang dipanaskan, bahan baku yang digunakan adalah tembakau asli yang dibentuk menyerupai batang rokok atau yang disebut sebagai batang tembakau. Lalu, pada proses pengunaannya, batang tembakau itu dipanaskan pada suhu maksimal 350 derajat celcius, sehingga menghasilkan uap yang mengandung nikotin. Karena tidak ada proses pembakaran, maka produk tembakau yang dipanaskan tidak menghasilkan TAR dan memiliki jumlah zat kimia berbahaya yang lebih rendah daripada rokok.
Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment atau BfR) pada 2018 lalu. Hasil riset itu menyatakan produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80-99 persen daripada rokok.
“Jadi masyarakat perlu memahami lebih lanjut bahwa produk tembakau alternatif itu beragam dan memiliki perbedaan dari setiap jenisnya, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan itu berbeda. Jangan anggap semua jenis produk tembakau alternatif itu sama karena bahan baku dan cara penggunaannya pun berbeda-beda,” jelas Amaliya.
Saat ini, rokok elektrik atau vape tengah menjadi sorotan di Amerika Serikat karena meningkatnya angka masalah kesehatan dari penggunaan produk tersebut. Permasalahan ini terjadi lantaran adanya penyalahgunaan cairan Tetrahidrokanabinol (THC), senyawa yang terdapat pada ganja, yang ditambahkan pada cairan rokok elektrik. Terkait dengan hal tersebut, awal Oktober lalu, Badan POM Amerika Serikat (US FDA), mengeluarkan edaran yang berisi peringatan agar masyarakat berhenti mengonsumsi produk rokok elektrik atau vape yang mengandung THC serta menghindari konsumsi rokok elektrik atau vape yang dibeli dari pasar gelap.
Dengan demikian, sebaiknya, produk tembakau alternatif yang digunakan untuk beralih dari rokok adalah produk yang sudah mendapatkan ulasan secara mendalam dan/atau otorisasi dari US FDA agar tepat untuk perlindungan kesehatan masyarakat.
Menanggapi epidemi tersebut, Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) dan Pengamat Hukum, Ariyo Bimmo, mengatakan bahwa permasalahan yang ada di Amerika Serikat berpotensi terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menyediakan akses informasi yang jelas dan akurat serta mendorong terbentuknya regulasi khusus bagi produk tembakau alternatif yang terpisah dari rokok. Hingga saat ini, aturan yang mengatur produk tembakau alternatif hanya berupa pengenaan tarif cukai.
“Pemerintah Indonesia harus bertindak cepat untuk membuat regulasi yang khusus dan terperinci bagi produk tembakau alternatif. Sangat disayangkan, apabila produk yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah rokok ini justru disalahgunakan untuk narkoba atau hal lainnya yang dapat merugikan penggunanya,” tutup Ariyo.