Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA - Citibank melalui Citi Global Perspectives & Solutions (Citi GPS) melaporkan bahwa untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050, dunia memerlukan sekitar US$125 triliun atau setara dengan Rp1,9 kuintiliun dalam asumsi kurs Rp15.503 per-dolar Amerika Serikat (AS).
Grup Citibank baru-baru ini merilis laporan terbaru yang berjudul "Unlocking Climate and Development Finance."
Laporan riset ini menyelidiki langkah-langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan pendanaan di berbagai wilayah geografis, industri, dan proyek-proyek yang tidak hanya memberikan dampak signifikan tetapi juga menghasilkan keuntungan sebanding dengan risiko yang ada.
Dalam konteks ini, laporan menyoroti perbedaan dalam selera risiko modal dan profil risiko proyek sebagai salah satu faktor yang menyebabkan minimnya mobilisasi pendanaan untuk proyek-proyek terkait perubahan iklim.
Meskipun pemahaman tentang fasilitas aliran modal sudah cukup baik, tetapi masih diperlukan lebih banyak proyek yang dapat dibiayai dan diinvestasikan untuk mendukung upaya penanganan perubahan iklim.
Selama beberapa dekade terakhir, ada kemajuan luar biasa dalam mengatasi perubahan iklim. Pada tahun 2015, 196 negara menyetujui Paris Agreement untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celsius.
Pada United Nation Climate Change Conference of the Parties ke-26 (COP26) tahun 2021, para pemimpin dunia merancang agenda global menuju emisi bersih nol. Namun, tantangan berikutnya adalah mencari cara untuk mendanai tindakan global terkait perubahan iklim.
Antara tahun 2016-2020, proyek-proyek perubahan iklim berhasil menggerakkan antara US$600 miliar (Rp9,3 kuadriliun) hingga US$900 miliar (Rp13,95 kuadriliun) pertahun.
Namun, untuk mencapai skenario net zero emission pada tahun 2050, diperlukan sekitar US$125 triliun (Rp1,93 kuintiliun) dalam 30 tahun ke depan.
Meskipun aliran pendanaan global hampir dua kali lipat pada tahun 2022 menjadi US$1,4 triliun (Rp21,7 kuadriliun), perkiraan kesenjangan pendanaan iklim antara tahun 2030 dan 2050 hampir tujuh kali lipat dari aliran dana tahun 2022.
Menurut laporan Citibank, investasi atau pendanaan dalam transisi energi saat ini pada pasar negara maju dilakukan melalui pembiayaan modal swasta, sedangkan di pasar negara berkembang melalui sektor publik dan organisasi supranasional.
Dalam beberapa dekade mendatang, sebagian besar pendanaan iklim diperkirakan akan disalurkan di negara-negara berkembang untuk mencapai tujuan iklim global yang sudah ditetapkan.
Kawasan Asia Timur dan Pasifik tercatat menerima 47% dari keseluruhan aliran pendanaan iklim pada tahun 2022, dan Eropa Barat menerima 24%, sementara Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah, serta Afrika Utara hanya menerima 2% dan 1% dari keseluruhan aliran pendanaan, meskipun mereka adalah wilayah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Di Indonesia, pada November 2022, konferensi G20 menyaksikan diluncurkannya Just Energy Transition Partnership (JETP) antara International Partners Group (IPG) dan Indonesia.
Ini bertujuan untuk mengumpulkan US$20 miliar (Rp310 triliun) pendanaan publik dan swasta guna mendorong pencapaian target iklim dan energi Indonesia.
Sebanyak US$10 miliar (Rp155,03 triliun) dalam pendanaan swasta akan dihimpun oleh The Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang dipimpin oleh Citi dan enam bank lainnya, sementara US$10 miliar (Rp155,03 triliun) lainnya dalam dana publik akan dihimpun oleh anggota Interpublic Group (IPG) yang dipimpin oleh AS dan Jepang.
Laporan tersebut menyebutkan pula bahwa para pejabat pemerintah diharapkan bekerja sama dengan bank-bank pembangunan multilateral (Multilateral Development Bank/MDB), lembaga keuangan pembangunan (Development Finance Institution/DFI), dan sektor swasta untuk menyusun studi kelayakan komprehensif yang mendukung agenda perubahan iklim. (*)