Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi
LAMPUNG -- Ribuan sopir dan pekerja tongkang terdampak police line dan blokade jalan hauling khusus batu bara di kilometer (Km) 101 Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan sampai saat ini masih menganggur.
Sudah lebih dari 10 hari sejak blokade jalan itu terjadi pada 28 November 2021, ribuan pekerja itu tanpa penghasilan. Ekonomi Kabupaten Tapin kini terancam memburuk akibat bertambahnya pengangguran.
Guru Besar Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Muhammad Handry Imansyah, mengatakan, persoalan yang terjadi antara PT Antang Gunung Meratus (AGM) dan PT Tapin Coal Terminal (TCT) harus segera diselesaikan. Mediasi diperlukan untuk mempertemukan perbedaan dua kepentingan.
Namun demikian, menurut Handry, jika mediasi buntu maka pemerintah daerah dan DPRD Tapin memiliki daya paksa untuk menyelesaikan masalah ini. Karena blokade jalan hauling Km 101 merugikan perekonomian banyak pihak di daerah tersebut.
"Tentu banyak pihak yang dirugikan. Termasuk masyarakat luas. Negosiasi dan mediasi bisa dilakukan antarpihak demi kepentingan bersama yang lebih besar. Jika mediasi buntu, pemerintah dan DPRD punya daya paksa," ujarnya kepada wartawan akhir pekan lalu.
Dia menambahkan, sengketa yang terjadi diantara kedua perusahaan harus segera diselesaikan. Jika salah satu pihak merasa dirugikan, melalui mediasi hal tersebut semestinya dapat dicari solusinya.
Namun jika proses mediasi mengalami jalan buntu, Handry menyarankan agar kedua perusahaan yang bersengketa menyelesaikan persoalan melalui jalur pengadilan.
"Pengadilan adalah salah satu langkah terakhir untuk menyelesaikan sengketa. Jika memungkinkan, jalan hauling itu pun bisa dibuka terlebih dahulu sembari perundingan atau sidang di pengadilan berjalan," tegasnya.
Sebelum adanya police line dan blokade Km 101, aktivitas di jalan hauling tersebut berjalan normal. Hal itu dimulai dari kerjasama penggunaan lahan sejak tahun 2010.
Pada tahun itu, PT Bara Multi Sugih Sentosa (BMSS) dan PT AGM (pemegang ijin PKP2B) sudah mendapat izin pembangunan underpass oleh Gubernur Kalsel melalui PT Bumi Borneo Cemerlang atau BBC (salah satu perusahaan dalam group BMSS).
Pada saat itu Anugerah Tapin Persada (ATP) juga mengajukan permohonan izin pembangunan underpass. Namun, Gubernur Kalsel saat itu Rudy Arifin, meminta agar ATP bekerja sama dengan BMSS dan AGM dalam pembangunan underpass karena izinnya sudah keluar terlebih dahulu.
Belum selesai dibangun, PT ATP jatuh pailit. Kemudian Tim Kurator PT ATP yang ditunjuk pengadilan, mendapatkan izin dari pengadilan untuk menandatangani Perjanjian 2010 dengan PT AGM dan PT BMSS, agar proyek jalan khusus tambang dan pelabuhan khusus PT ATP dapat terus berlanjut.
Dapat juga disampaikan bahwa Perjanjian 2010 lahir dari itikad baik PT AGM untuk bersama-sama menjalankan bisnis secara berdampingan.
Inti dari kesepakatan itu adalah tukar pakai tanah antara PT AGM dan PT ATP, dimana PT ATP berhak untuk menggunakan tanah PT AGM seluas 1824 meter persegi (m2) di sebelah timur underpass KM 101 untuk jalan hauling ATP.
Kemudian, PT AGM berhak memakai tanah PT ATP di sebelah barat underpass KM 101 untuk jalan hauling PT AGM.
Dalam Perjanjian 2010 juga terdapat sejumlah poin kesepakatan yang mengikat kedua perusahaan, yaitu pertama, perjanjian berlaku sepanjang tanah tukar pakai masih digunakan untuk jalan hauling.
Kedua, perjanjian tidak berakhir dengan berpindahnya kepemilikan tanah. Ketiga, perjanjian berlaku mengikat kepada para pihak penerus atau pengganti dari pihak yang membuat perjanjian.
Ketika proyek jalan khusus tambang dan pelabuhan PT ATP beralih kepada PT TCT, perjanjian 2010 tetap dilaksanakan baik oleh PT AGM maupun PT TCT selama sepuluh tahun sejak sekitar 2011.
Namun, sejak Oktober 2021, terjadi sengketa wilayah di lahan tersebut. Akhir November 2021, polisi memasang garis polisi yang diikuti blokade oleh PT TCT di wilayah Km 101 Tapin.