Opini
Penulis:Eva Pardiana

Layar gawai terus berputar dan arus informasi digital yang cepat membentuk pola baru dalam perilaku berbahasa peserta didik SMP. Pola konsumsi informasi melalui potongan humor, teks instan, dan tren viral membuat siswa lebih mahir mengikuti arus konten singkat daripada memahami teks panjang. Hasil PISA 2022 menempatkan Indonesia pada posisi rendah dalam literasi membaca, khususnya kemampuan menafsir struktur teks secara utuh. Kesenjangan antara kurikulum dan praktik di ruang kelas menjadi nyata karena siswa lebih cepat menangkap tren viral, tetapi kesulitan menyusun esai argumentatif atau menafsir wacana informatif. Cognitive Load Theory (Sweller, 1988) menunjukkan bahwa paparan informasi cepat menimbulkan beban kognitif dangkal, sehingga kemampuan memahami teks panjang menjadi terganggu.
Kesulitan memahami struktur teks muncul pada berbagai jenjang pembelajaran. Kurikulum Merdeka menekankan penguasaan berbagai jenis teks, tetapi banyak peserta didik melewati pembelajaran tanpa memahami unsur struktur, kaidah kebahasaan, atau pola argumentasi. Kemendikbudristek (2023) melaporkan hanya sekitar 34% peserta didik SMP mampu menyusun teks eksposisi sesuai struktur lengkap. Analisis Wacana Teun A. van Dijk menegaskan pemahaman struktur teks memerlukan kemampuan memetakan konteks, elemen semantik, dan hubungan antargagasan, kemampuan yang sulit diperoleh oleh generasi yang terbiasa membaca cepat dan fragmentaris.
Etika berbahasa mengalami penurunan akibat pengaruh budaya komunikasi digital. Peserta didik menggunakan gaya media sosial saat menulis tugas, mengabaikan ejaan, hilangnya tanda baca, dan menyisipkan bahasa gaul. We Are Social (2024) menyebutkan rata-rata remaja Indonesia menghabiskan lebih dari tiga jam per hari di platform digital. Kebiasaan ini membentuk pola komunikasi yang sulit diubah, sehingga norma kesantunan berbahasa (Brown & Levinson, 1987) semakin sulit diterapkan.
Krisis literasi ini terlihat dari beberapa aspek penting. Ledakan konten digital seperti short video, meme, dan thread singkat membuat peserta didik terbiasa pada informasi instan tanpa konteks. Kelemahan struktur teks di ruang kelas terlihat pada kesulitan membedakan gagasan utama dan penjelas, menyusun paragraf runtut, serta menggunakan penanda wacana dengan tepat. Beaugrande & Dressler (1981) menekankan keterpaduan dan ketertautan sebagai aspek penting yang kini sering hilang. Pengaruh bahasa santai digital terhadap tutur sehari-hari membuat siswa lebih nyaman menggunakan ungkapan gaul dibanding kalimat baku. Rendahnya fokus membaca peserta didik menjadi tantangan dalam praktik Kurikulum Merdeka, sehingga pendekatan proyek kadang tidak berjalan optimal.
Solusi berbasis riset dan praktik lapangan dapat ditempuh melalui beberapa langkah. Membiasakan membaca mendalam dengan metode close reading pada teks berkualitas melatih siswa menganalisis dan menautkan gagasan. Integrasi media digital yang terarah menggunakan platform seperti digital storytelling, annotated reading, dan text-mapping apps membantu siswa belajar struktur teks sambil tetap terhubung dengan dunia digital. Simulasi wacana nyata melalui diskusi publik, debat, dan pembuatan konten bertanggung jawab melatih etika berbahasa sesuai kaidah. Penilaian berbasis proses, melalui portofolio, refleksi diri, dan learning journal, memberi ruang bagi siswa menunjukkan perkembangan berpikir dan berbahasa.
Kebiasaan membaca harian terbukti meningkatkan pemahaman dan ketahanan membaca. Program membaca 10–15 menit sebelum pelajaran dimulai, pojok baca kelas, tantangan membaca bulanan, dan catatan jurnal refleksi dapat diterapkan secara rutin di sekolah.
Bahasa Indonesia harus tetap kokoh menghadapi arus digital. Ruang digital memperluas dunia peserta didik, tetapi tren dan viralitas tidak boleh mengalahkan kemampuan literasi yang menjadi fondasi masa depan. Pendidik memegang peran strategis untuk memastikan generasi scroll tidak hanya mahir mengikuti arus viral, tetapi juga mampu menafsir struktur teks secara mendalam, memahami wacana utuh, dan mempraktikkan etika berbahasa dengan baik.
Penulis: Dede Putri (Mahasiswa MPBSI UNILA Angkatan 2024)
Dosen: Siti Samhati, Mulyanto Widodo, Farida Ariyani, Nurlaksana Eko Rusminto