Palestina
Penulis:Chairil Anwar
Editor:Chairil Anwar
BANDARLAMPUNG – Perang di Jalur Gaza meninggalkan luka batin tersendiri bagi Mohammad Zyad Alshurafa, mahasiswa asal Palestina yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Lampung (Unila). Di tengah-tengah studi, rumah Mohammad luluh lantak akibat serangan militer di Jalur Gaza pada Mei 2021 lalu.
Rasa putus asa sempat dialami Mohammad. Ia menawarkan diri kepada keluarganya, untuk tidak melanjutkan studi dan kembali ke Gaza dalam rangka membantu orang tua. Namun Zyad dan Neibal, selaku ayah dan ibu Mohammad, melarangnya.
“Orang tua saya berharap saya bisa memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik di Indonesia. Itulah kenapa saya terus bersemangat untuk belajar Ilmu Komputer, termasuk pada hari ini, merantau ke Surabaya untuk mulai magang di SEVIMA,” ungkap Mohammad dalam bahasa Indonesia yang fasih saat Penyambutan Mahasiswa Magang dari Universitas Lampung, Rabu (9/2/2022) di Gedung SEVIMA Surabaya.
Bermula dari Kesempatan Beasiswa di Universitas Lampung
Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerja sama, dan TIK Unila Prof. Suharso, menyatakan, kehadiran Mohammad di Universitas Lampung bermula dari kerja sama kampus tersebut dengan Palestina. Universitas Lampung kemudian mendanai lima mahasiswa asal Palestina untuk berkuliah secara gratis di kampus negeri kebanggaan masyarakat Lampung ini.
“Kita carikan dana untuk beasiswa juga mendukung Mohammad dan kawan-kawannya untuk berjuang melanjutkan studi. Harapan kami, apa yang dilakukan Mohammad bisa mempromosikan persahabatan antarbangsa sekaligus membantu Palestina yang sedang dalam kesulitan,” ungkap Suharso dalam penyambutan tersebut.
Perjuangan untuk menempuh studi telah dimulai Mohammad jauh sebelum datang ke Indonesia. Ia mengetahui kesempatan beasiswa dari selebaran yang ditempel di mading kampusnya di Gaza. Dengan pertimbangan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif lebih unggul dibanding di Gaza, dan tersedia beasiswa gratis, Mohammad rela meninggalkan kuliahnya di Gaza yang sudah berjalan dua semester.
Untuk datang ke Indonesia, anak ketiga dari sembilan bersaudara ini juga harus dihadapkan dengan masalah keberangkatan. Permohonan visanya sempat ditolak berkali-kali oleh otoritas Mesir maupun Israel. Alhasil, Mohammad masuk kuliah terlambat sembilan bulan dibanding kawan-kawannya. Ia tiba di Lampung pada September 2019 dan hingga saat ini tinggal di Asrama Unila. Sedangkan kawan-kawannya sudah mulai berkuliah sejak Februari.
Perang Berkecamuk di Jalur Gaza
Perjuangan belum selesai sampai di sana. Di kelas, ia harus beradaptasi dengan cepat karena seluruh pembelajaran dilakukan dengan Bahasa Indonesia. Sedangkan melalui telepon genggamnya, ia memperoleh berita dari media massa seputar perang di Jalur Gaza yang tak berkesudahan.
“Termasuk ketika rumah saya hancur, dan keluarga saya semuanya harus dirawat di rumah sakit, itu saya ketahui bukan dari kabar mereka langsung. Tetapi dari media, saya lihat rumah saya hancur dan fotonya ditampilkan di media online. Kondisi itu sempat membuat saya sulit untuk fokus belajar,” lanjut Mohammad.
Siasat Mohammad untuk mengatasi masalah bahasa ada dua, belajar yang tekun di pusat pelatihan, serta menghubungkan kosa kata yang ia temui di kelas dengan bahasa Arab yang sehari-hari ia gunakan. Terlebih untuk urusan pemrograman dan matematika, yang menjadi mata kuliahnya sehari-hari, banyak kata-kata yang sudah baku secara internasional.
Jika masih mengalami kesulitan dalam belajar, ataupun terbayang-bayang dengan perang yang terus terjadi di kampung halamannya, ia selalu ingat dengan pesan orang tuanya. Bahwa Mohammad diberi tugas untuk mengubah nasib keluarganya dengan menjadi seorang sarjana dan berkarier di tempat yang lebih baik.
“Katakanlah algoritma, matematika, dalam bahasa manapun termasuk Inggris juga disebut demikian. Sifatnya universal. Jadi saya mulai belajar bahasa Indonesia, hingga akhirnya saya tidak mengalami kendala sama sekali dalam komunikasi dan pelajaran. Alhamdulillah untuk pelajaran eksakta, nilai saya hampir seluruhnya A (sempurna),” ungkap Mohammad yang kini meraih IPK 3,8.
Magang Mengembangkan Sistem Akademik Berbasis Awan (Siakadcloud)
Sejalan dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Mohammad yang kini duduk di semester enam, magang Perusahaan Education Technology SEVIMA. Program magang ini akan dinilai setara 20 SKS dan menantang Mohammad untuk mengerjakan proyek berbasis digital secara langsung.
Salah satu proyek yang sedang dikerjakan Mohammad saat ini adalah menyediakan fitur tanda tangan elektronik di sistem akademik berbasis awan (Siakadcloud). Proyek ini didasari atas pengalamannya yang kesulitan saat memperoleh izin dari dosen, baik untuk penelitian maupun melakukan aktivitas lainnya.
Alasannya seringkali beragam, entah karena dosen tersebut sedang berada di luar negeri ataupun justru harus di rumah saja karena kondisi pandemi Covid-19.
“Dengan fitur yang saya buat selama magang ini nantinya mahasiswa tidak perlu sulit-sulit lagi cari dosen untuk izin. Dosen juga tidak perlu kesulitan menemui mahasiswa hanya untuk tanda tangan surat. Semua bisa dilakukan secara elektronik dan digital,” ucap Mohammad.
Mohammad berharap, kemampuan membuat teknologi digital tersebut akan ia manfaatkan untuk meningkatkan kariernya. Selain itu, ia ingin berkontribusi bagi kemajuan pendidikan di Palestina serta Indonesia. Karena sejalan dengan pesan orang tuanya, Mohammad yakin pendidikan adalah cara terbaik bagi seseorang untuk mengubah nasib.
“Walaupun Palestina sedang dilanda peperangan, saya adalah orang yang percaya bahwa kita tidak selayaknya tangan di bawah. Kita tidak selayaknya bergantung pada bantuan orang lain. Nasib kita hanya bisa diubah oleh kita sendiri, dan salah satu caranya adalah menguasai ilmu pengetahuan,” pungkas Mohammad mantap. (*)