Pengamat: Sidang MK Menjadi Ujian Indonesia sebagai Negara Hukum

2024-04-22T10:58:18.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Redaksi

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi

JAKARTA - Pengamat hukum sekaligus Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Prof. Sulistyowati Irianto, mengatakan sidang sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan ajang untuk menguji apakah Indonesia masih negara yang memegang asas hukum.

“Sidang MK bagi saya bukan sekadar sidang mengadili perselisihan pemilu, tetapi sidang apakah negara hukum Indonesia masih bisa berlangsung,” kata Prof. Sulistyowati dalam Sidang Pendapat Rakyat untuk Pemilu yang digelar PP Muhammadiyah di Jakarta Jumat, 19 April 2024.

Menurutnya, proses sidang sengketa pemilu di MK harus memenuhi tiga kriteria agar Indonesia tetap mematuhi konstitusi yang berpihak kepada rakyat.

Unsur pertama adalah proses siding sengketa pemilu di MK harus menghasilkan keputusan yang jelas agar dimengerti oleh seluruh masyarakat.

Kedua, putusan MK haruslah bisa diprediksi masyarakat berdasarkan dinamika persidangan, sehingga sehingga putusan tidak terkesan diatur pihak tertentu.

“Tidak berdasarkan kehendak perorangan, kita lihat debat-debat di MK, bagaimana analisisnya yang kita harapkan pertimbangan putusan keluar dengan kesesuaian yang kita saksikan bersama,” jelas Sulistyowati.

Unsur terakhir adalah, MK harus berperan sebagai badan independen yang dapat memisahkan antara kekuasaan dan penegakan hukum. Hal ini akan tercermin dari keputusan hukum yang dihasilkan oleh MK dalam sengketa pemilu tahun ini.

Menurut Sulistyowati, para hakim MK harus membuat putusan dengan ideal dan berdasarkan hukum, tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.

Dengan demikian, masyarakat akan tetap mempercayai MK sebagai institusi terakhir yang dapat menyediakan keadilan.

“Hakim MK sebagai guardian punya kewenangan besar untuk memastikan meskipun langit runtuh, konstitusi Indonesia harus tetap tegak,” paparnya.

Sementara, dalam diskusi Landmark Decision MK di Cikini, Jakarta Pusat, pada Jumat, 19 April 2024, menurutnya, ketika suatu perkara diajukan ke MK, sama dengan menguji pilar dalam bernegara.

“Menguji pilar-pilar negara hukum pilar utamanya adalah demokrasi, kedua HAM karena isi konstitusi itu adalah hak-hak dasar yang dijamin negara lalu ketiga pilar mekanisme kontrol untuk mengontrol pemisahan kekuasaan di negeri kita tidak hanya yudikatif, eksekutif legislatif.”

“Artinya kita sedang menguji apakah kita masih negara hukum atau tidak melalui kasus ini. Oleh karena itu, sengketa pemilu menjadi bersifat sangat khusus tidak bisa dideduksi menjadi penyelesaian sengketa biasa. Jadi yang diharapkan hakim MK itu bisa memikirkan suatu pertimbangan yang melampaui analisis doktrinal. Artinya apa? Hakim MK tidak sekadar menjadikan diri sebagai corok UU saja,” imbuhnya.

Menyelamatkan Demokrasi

Ia berpandangan, saat ini dibutuhkan hakim Konstitusi untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia. Dia berharap keputusan MK terkait sengketa pilpres 2024 dapat berdampak baik untuk nasib bangsa ke depan.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia menetapkan pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024.

Penetapan ini tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara nasional dalam Pemilihan Umum 2024.

Hasyim mengatakan pasangan Prabowo-Gibran meraih 96.214.691 suara. Sedangkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memperoleh 40.971.906 suara dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md meraih 27.040.878 suara. Total surat suara sah yaitu 164.227.475 suara.

Pilpres 2024 diikuti tiga pasangan, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pasangan calon nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pasangan calon nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md pasangan calon nomor urut 3.

Kemenangan Prabowo-Gibran memunculkan niatan dari kubu pasangan nomor urut 1 dan 3 untuk menggugat hasil penghitungan KPU ke MK. Kedua kubu itu menilai ada kecurangan dalam proses pencalonan hingga penghitungan suara yang dilakukan KPU.(*)