Pemahaman Keliru soal Agama Suburkan Tumbuhnya Organisasi Radikal

2022-04-29T13:58:47.000Z

Penulis:Eva Pardiana

Editor:Eva Pardiana

Ngatawi Al Zastrouw.jpeg
Ketua MAC UI Ngatawi Al-Zastrow dalam diskusi “Membingkai Budaya Keberagaman, Meneguhkan NKRI, Menolak NII”. Acara diadakan Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) berkolaborasi dengan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI dan Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET-MUI)

DEPOK—Munculnya organisasi radikal di Indonesia diklaim karena adanya pemahaman yang keliru atas ajaran agama. 

Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia M. Syauqillah mengungkapkan hal ini dalam diskusi bertajuk Membingkai Budaya Keberagaman, Meneguhkan NKRI, Menolak NII. 

Acara ini diadakan Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) bekerja sama dengan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI dan Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET-MUI).

“Proses penyampaian ajaran agama membutuhkan budaya agar mudah dimengerti masyarakat. Kepiawaian ustaz, kiai, dan ulama juga ditantang agar pesan yang disampaikan dipahami dengan tepat,” ujar Syauqillah dalam siaran pers yang diterima Eduwara.com, Jumat, 29 April 2022.

Syauqillah menambahkan semua organisasi teror di Indonesia memiliki akar yang sama meski diekspresikan dengan cara berbeda. 

Berbagai organisasi sebetulnya memiliki ideologi yang sama, yaitu membentuk pemerintahan khilafah atau daulah. Kesamaan tujuan ini membuat anggota organisasi tertentu mudah berpindah ke antar-organisasi serupa.

Adapun, pemahaman keliru tentang jihad menurut Wakil Ketua BPET-MUI Muslih Nasuha dapat dimanfaatkan kelompok teroris dan radikal untuk menanamkan ideologinya. “Orang yang galau dan tidak paham ajaran agama akhirnya terkena doktrinnya,” tutur Muslih.

Dia menuturkan bahwa dirinya memiliki pengalaman menggagalkan keberangkatan sekelompok orang yang ingin pergi ke Syria dan Irak. 

“Mereka memahami jihad itu perang sehingga datang ke tempat peperangan. Padahal, ada ayat Alquran yang memberikan penjelasan bahwa jihad bukan hanya perang,” papar Muslih.

Dia menambahkan, pendekatan ideologis yang masif dilakukan hampir seluruh kelompok teror. Mereka, lanjut Muslih, berusaha menjadi kanal imajinasi bagi pihak yang merindukan hidup di masa tertentu, misalnya masa kehidupan nabi. 

Hal ini berhubungan dengan psikologis masyarakat di Indonesia dan Malaysia yang mengagungkan dan menjadikan masyarakat Timur Tengah sebagai inspirasi.

Sementara itu, Lead Researcher of Terrorism and Political Violence Galatea Thinktank Ulta Levenia memaparkan pengalamannya meneliti organisasi teror di Afganistan. Ulta menemukan adanya narasi yang kuat dan berkembang di antara anggota organisasi ini. 

“Narasi-narasi ini awalnya diperkenalkan oleh tokoh karismatik dan ditanamkan ke anggotanya. Namun, ketika tokoh ini atau tokoh karismatik lainnya berbicara narasi yang bertentangan, anggota tidak percaya dan menganggap hanya kebohongan. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada narasi yang sangat kuat dan tertanam dalam benak anggotanya,” tutur Ulta.

Kearifan Lokal

Di sisi lain, kearifan lokal yang dimiliki Indonesia menurut Ketua MAC UI Ngatawi Al-Zastrow dapat menangkal radikalisme dan terorisme. 

“Kearifan lokal itu ibarat emas dan berlian yang perlu diolah. Ia bukan sekadar pengetahuan, melainkan ilmu yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal yang termasuk dalam kebudayaan ini harus menjadi ilmu laku. Kebudayaan harus built-in dalam diri, terekspresi dalam laku, dan terwujud dalam kerangka pikir,” ungkap Ngatawi. (*) 

Tulisan ini telah tayang di eduwara.com oleh Bhakti Hariani pada 29 Apr 2022