Penulis:Yunike Purnama
BANDARLAMPUNG— Museum Lampung Ruwai Jurai menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang sejarah dan budaya di tanah Sai Bumi Ruwa Jurai. Namun, sayangnya museum yang menyimpan warisan budaya dari zaman Hindu-Buddha hingga periode penjajahan Belanda ini ternyata masih kurang menarik perhatian generasi muda.
Kali ini tim Kabarsiger kembali menguak beberapa koleksi sejarah yang berada di Museum yang berlokasi di Jalan Zainal Abidin Pagar Alam Bandar Lampung.
Mulai dari arsitektur klasik yang kuat, terdapat koleksi berharga: mulai dari prasasti kuno, naskah dari kulit pohon, hingga silsilah pahlawan nasional Radin Inten II.
Museum ini juga menampilkan peninggalan dari periode kerajaan Hindu-Buddha, jejak penyebaran Islam di Lampung, koleksi senjata dari VOC seperti pistol dan perlengkapan perang, serta peninggalan gerabah dari zaman lalu.
Selain itu, pengunjung dapat mempelajari perkembangan aksara Lampung dan warisan budaya lainnya, termasuk pakaian adat, alat tradisional Lampung dan masih banyak lagi.
Untuk harga tiket masuk Museum hanya dibandrol Rp 5.000 untuk dewasa, mahasiswa Rp 2.000 dan anak-anak hanya Rp 1.000
Namun, harga tiket yang murah belum cukup untuk menarik generasi muda.
Salah satu pengunjung yang diwawancarai, Resti, mengaku baru pertama kali mengunjungi museum ini meskipun sudah lama tinggal di Lampung. “Sebenarnya sudah lama ingin ke museum, tapi teman-teman tidak mau,” ungkapnya.
Resti, mahasiswi di Universitas Lampung (Unila) jurusan PPKN, mengungkapkan kesan pertamanya saat memasuki museum.
“Tadi sempat ragu untuk masuk, bagian hewan-hewan sangat gelap, sedikit menakutkan,” ujarnya. Meskipun demikian, ia menghargai segmen budaya Lampung di lantai atas yang dianggapnya sangat informatif.
Ia menambahkan bahwa mengunjungi museum ini sangat menyenangkan, terutama dengan harga tiket yang terjangkau. “Harganya sangat murah, saya pikir akan lebih mahal. Ini adalah pengalaman baru yang luar biasa, ternyata banyak sekali yang bisa dipelajari,” tambahnya.
Museum Lampung juga menawarkan fasilitas Wi-Fi gratis, meskipun tampaknya ini belum cukup untuk menarik perhatian generasi digital yang lebih familiar dengan kafe atau pusat perbelanjaan daripada bangunan bersejarah.
Minat yang rendah dari generasi muda terhadap museum bisa menjadi perhatian bagi pengelola. Diperlukan perbaikan dalam aspek pencahayaan, pengaturan ruang, hingga strategi promosi digital agar museum tidak hanya menjadi tempat sepi penuh debu sejarah, tetapi juga menjadi ruang yang hidup bagi generasi penerus budaya Lampung. (*)
Reporter: Sheila Maya Sari, Shantica Melinda