Kredit Bermasalah Indonesia Eximbank Naik Terus, Tahun Lalu Hingga Rugi Rp3 Triliun

2023-07-03T12:20:30.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Redaksi

Ilustrasi logo Indonesia Eximbank
Ilustrasi logo Indonesia Eximbank

JAKARTA – Pembukuan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank babak belur sepanjang 2022.

Gara-gara kredit macet, LPEI merugi hingga Rp3,11 triliun tahun lalu, padahal pada 2021 masih mengantongi laba Rp387,40 miliar. Dilihat dari sisi kolektabilitasnya, rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/ NPF) bruto mengalami peningkatan pada 2022 menjadi 26,61% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 21,03%. 

Kenaikan ini disebabkan oleh peningkatan pembiayaan dan piutang yang masuk dalam kategori bermasalah sebesar 26,03% menjadi Rp22,26 triliun di tahun 2022 dari Rp17,66 triliun pada 2021.

Pembiayaan bermasalah neto atau dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai, juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya NPF gross. Jumlah pembiayaan dan piutang bermasalah neto mencapai Rp8,69 triliun atau naik 45,29% dari tahun 2021 sebesar Rp5,98 triliun. 

Hal ini berdampak kepada peningkatan rasio NPF neto dari 10,39% di tahun 2022 menjadi 7,12% di tahun sebelumnya. Salah satu debitur LPEI yang bermasalah adalah PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS). 

Dalam catatan laporan keuangan 2022, manajemen PRAS mengakui pinjaman kepada Indonesia Eximbank bermasalah. ”Terdapat pinjaman bank yang telah jatuh tempo dan angsuran pokok yang tidak terbayar sebesar Rp1,10 miliar. Entitas telah mengirim surat usulan penyelesaian utang bank. Sampai dengan tanggal pelaporan perjanjian sedang dilakukan proses restrukturisasi.”

Sebaran Kredit

Dilihat dari profil debiturnya, LPEI menyalurkan pembiayaan dan piutang ke berbagai sektor usaha dengan porsi terbesar kepada sektor manufacture dengan selama dua tahun terakhir masing-masing sebesar 46,92% dan 46,47% di tahun 2022 dan 2021. Sektor lain yang memiliki kontribusi double digit adalah pertanian, perburuan dan sarana pertanian dengan kontribusi 16,65% serta sektor pertambangan 14,54% di tahun 2022. 

Dari ketiga sektor tersebut, sektor manufaktur dan pertambangan masing-masing membukukan pertumbuhan 0,58% dan 85,90% menjadi Rp39,24 triliun dan Rp12,16 triliun.

Dari penyaluran pembiayaan berdasarkan sektor tersebut, total pembiayaan dan piutang bermasalah mencapai Rp22,26 triliun di tahun 2022, atau naik 26,03% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp17,66 triliun di tahun 2021. Total pembiayaan dan piutang bermasalah tersebut setara dengan 26,61% dan 21,03% dari total pembiayaan dan piutang (gross) yang disalurkan oleh LPEI ke semua sektor usaha sebesar Rp83,64 triliun di tahun 2022 dan Rp83,96 triliun di tahun 2021. 

Rasio NPF bruto sebesar 26,61% di tahun 2022 dan 21,03% di tahun 2021. Dari semua sektor usaha yang menerima pembiayaan dan piutang dari LPEI namun tidak membukukan pembiayaan dan piutang bermasalah adalah sektor listrik, gas, dan air.

Menggerus Laba

Lantaran terbebani kredit bermasalah, laba tahun berjalan LPEI mengalami penurunan tajam dan membukukan rugi tahun berjalan sebesar Rp3,11 triliun di tahun 2022 dibandingkan laba tahun berjalan senilai Rp387,40 miliar di tahun sebelumnya. Rugi tahun lalu jauh dari target laba bersih sebesar Rp456,36 miliar.

Rugi tahun berjalan yang berada di zona negatif ini tidak terlepas dari beban pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan sebesar Rp2,11 triliun di tahun 2022 dibandingkan Rp257,75 miliar di tahun sebelumnya. 

Faktor lainnya adalah LPEI membukukan penurunan pendapatan bunga dan usaha syariah sebesar 12,95% menjadi Rp3,71 triliun di tahun 2022 sehingga berdampak kepada penurunan pendapatan bunga dan usaha syariah neto sebesar 35,69%.(*)