Garuda Indonesia
Penulis:Eva Pardiana
Editor:Eva Pardiana
JAKARTA – Kerugian yang dialami maskapai penerbangan nasional PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) pada kuartal III-2021 semakin parah hingga mencapai US$643,8 juta atau setara Rp9,23 triliun (asumsi kurs Rp14.337 per dolar Amerika Serikat).
Dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) dikutip Jumat, 17 Desember 2021, Direksi GIAA mengatakan kerugian perusahaan meningkat 24,69% dari kuartal II-2021 yang mencapai US$516,3 juta setara Rp7,4 triliun.
Adapun kerugian sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) pada posisi kuartal III-2021 saja mencapai US$345,4 juta setara Rp4,95 triliun. Selama sembilan pertama tahun ini, perseroan mencatat kerugian sebesar US$1,66 miliar setara Rp23,8 triliun.
Direksi perusahaan menjelaskan kerugian emiten berkode saham GIAA ini membengkak salah satunya disebabkan oleh penurunan pendapatan charter yang mulai dirasakan sejak kuartal pertama tahun ini.
Sementara itu, pendapatan penumpang mengalami kenaikan sebesar 5,5%o year on year (yoy) dan pendapatan kargo dan dokumen naik sebesar 20% yoy karena permintaan pengiriman barang sejak akhir tahun lalu.
"Total revenue (pendapatan) turun hingga 70 persen menyebabkan operating margin menjadi negatif dari kondisi pre-Covid yang menyebabkan liquidity dan solvability bermasalah," kata Direksi GIAA.
Selain penurunan pendapatan, Garuda Indonesia juga mengalami peningkatan nilai utang yang kini mencapau US$9,8 miliar setara Rp140,5 triliun kepada lebih dari 800 kreditur. Utang yang terus membengkak membuat Garuda Indonesia harus mengandangkan puluhan pesawat guna menekan biaya operasional.
Adapun beban usaha perseroan hingga kuartal III-2021 mencapai US$600,3 juta, sedangkan beban operasional yang bersifat tetap sebesar US$105,6 juta dan unit cost sebesar US$6,4 juta.
Utang yang terus membengkak dan biaya operasional yang belum maksimal ditekan, membuat ekuitas perusahaan tercatat negatif menjadi US$3 miliar setara Rp43 triliun.
Direksi GIAA mengatakan saat ini perseroan menyiapkan beberapa strategi guna mengembangkan bisnis sehingga kembali mengalami perbaikan kinerja.
Pertama, mengoptimalkan route network perseroan dengan hanya mengoperasikan rute-rute penerbangan yang profitable dan rute penerbangan internasional tertentu.
Kedua, menyesuaikan jumlah pesawat Garuda Indonesia dan Citilink agar selararn dengan route network yang telah dioptimalkan dan simplifikasi tipe pesawat untuk efektivitas dan efisiensi operasional pesawat.
Ketiga, melakukan renegosiasi kontrak sewa pesawat dengan para lessor. Skema restrukturisasi utang dengan para lessor sedang dilakukan dengan memperhatikan kondisi likuiditas perusahaan.
Baru-baru ini, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah menetapkan status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan meminta agar Garuda Indonesia segera menyusun proposal perdamaian dalam waktu 45 hari atau 1,5 bulan ke depan.
Saat ini Garuda Indonesia bersama dengan pengurus sedang menyiapkan proposal perdamaian kepada para kreditur dimana opsi mekanisme sedang didiskusikan antara lain melalui penerbitan zero coupon bond, surat utang maupun penerbitan saham baru.
Strategi terakhir yang dilakukan, kata dia, adalah meningkatkan kontribusi pendapatan kargo melalui optimalisasi belly capacity dan digitalisasi operasional.
"Garuda Indonesia sejak akhir tahun lalu secara resmi mengoperasional passenger freighter yang dapat mengangkut lebih dari 40 ton angkutan kargo," terang Direksi GIAA. (*)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Daniel Deha pada 16 Dec 2021