Opini
Penulis:Eva Pardiana
Editor:Eva Pardiana
KETIKA musim hujan tiba, banyak ditemukan jalan rusak. Kodisi jalan rusak, jika dibiarkan tidak ditangani dengan baik akan berpotensi rawan menimbulkan kecelakaan lalu lintas dan menimbulkan korban.
Karena saat hujan air menggenang menutupi badan jalan, sehingga masyarakat tidak tahu kondisi jalan berlubang itu, akibatnya rawan terjadi kecelakaan. Beberapa kejadian kecelakaan di jalan akibat banyaknya pengendara menghindari lubang atau bahkan terperosok ke dalam lubang itu. Kondisi jalan yang rusak parah, akibat menghindari lubang tersebut malah terjadi tabrakan.
Banyaknya jalan rusak dan dibiarkan terkadang membahayakan pengguna jalan, sesuai Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan penyelenggara wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.
Pasal 24 ayat (2), dalam hal belum dilakukan perbaikan jalan yang rusak, penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Warga yang terdampak jalan rusak punya peluang untuk menuntut haknya sesuai wewenang jalan.
Jalan nasional wewenangnya Ditjen. Bina Marga Kemen. PUPR, jalan provinsi wewenangnya Pemerintah Provinsi dan jalan kota/kabupaten wewenangnya Pemkot/Pemkab.
Sementara di Pasal 273 aturan yang sama, menyebutkan setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dipidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp12 juta.
Kemudian kalau sampai mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana kurungan maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp24 juta. Jika korban meninggal dunia, dapat dipidana penjara hingga 5 tahun atau denda paling banyak Rp120 juta.
Hendaknya, ini perlu menjadi perhatian untuk penyelenggara jalan agar lebih memperhatikan keselamatan penggunaan jalan. Jalan berkeselamatan dalam pemahaman Pemerintah saat ini adalah mantab jalan, permukaannya halus dan tidak berlubang.
Jalan tol tidak boleh ada permukaan yang berlubang. Standar tinggi memang diterapkan di jalan tol demi keselamatan penggunanya dengan kecepatan tinggi. Penutupan jalan berlubang di jalan tol yang dilakukan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) jangan hanya dilakukan saat akan menaikkan tarif. Namun harus dilakukan setiap ditemukan ada permukaan jalan yang berlubang. Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) harus memeriksa permukaan jalan tol secara rutin di semua ruas jalan tol.
Penilaian jalan tol dapat dinaikkan tarifnya, salah satunya adalah perawatan jalan yang rutin dan kontinyu, sebagai bagian dari pelayanan kenyamanan jalan yang telah dibayar oleh konsumen. Jangan sampai lubang yang terjadi di jalan tol (akibat hujan atau lainnya) dibiarkan menunggu tambah besar atau menunggu musim hujan selesai. Ini alasan yang tidak profesional dan merugikan konsumen.
Catatan Komisi Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT (Januari 2024), menyebutkan jalan berkeselamatan harus memenuhi kaidah. Pertama, regulating road, yaitu jalan harus sesuai dengan regulasinya. Kedua, self-explaining road, jika jalan itu tidak sesuai dengan regulasinya, maka jalan itu harus bisa menjelaskan apa hazardnya dan apa yang harus dilakukan pengguna jalan agar tidak terpapar hazard tersebut. Dan ketiga, forgiving road, yaitu jika pengguna jalan lengah, sehingga terjadi kecelakaan maka jalan akan memaafkan tidak sampai fatal.
Ketiga hal di atas kurang mendapat perhatian pemerintah saat ini, sehingga kontribusi jalan sebagai penyebab kecelakaan dan peningkatan fatalitasnya masih sangat tinggi.
Road side hazard seringkali terabaikan, ruang terbuka lebar seperti itu, tiang rigid di tepi jalan yang bisa memotong mobil jadi dua bagian, drainase terbuka dari beton sedalam 1 meter yang memakan korban 6 jiwa yang jatuh ke dalamnya dengan kepala pecah, tiang variable massage system (VMS) yang membuat bus terbelah, tiang jembatan yang membuat bus jadi dua bagian dan sebagainya. Rekomendasi KNKT jelas agar pemerintah membenahi road side hazard ini. Pasalnya, sudah cukup banyak korban jiwa akibat keteledoran dan salah rancangan (design) jalan dan bangunan di atasnya.
Berdasarkan SK Menteri PUPR No. 1688/KPTS/M/2022 tentang Penetapan Ruas Jalan Menurut Statusnya Sebagai Jalan Nasional, panjang jalan keseluruhan di Indonesia adalah 529.132,19 kilometer. Panjang jalan di Indonesia berdasarkan kewenangan, jalan nasional 47.603,39 km (8,90 persen), jalan provinsi 47.874,4 km (9,06 persen) dan jalan kota/kabupaten 433.654,4 km (82,05 persen).
Menurut data IRMS Semester 2 (2022) dan Data Pusat Fasilitasi Infrastruktur Daerah (2020), kondisi jalan di Indonesia berdasarkan kewenangan, kemantapan untuk jalan nasional 92,18 persen, jalan provinsi 73,79 persen dan jalan kota/kabupaten 62 persen.
Berdasar Keputusan Menteri PUPR No. 367/KPTS/M/2023 tentang Rencana Umum Jaringan Jalan Nasional Tahun 2020-2040, ada 5 arah kebijakan penyelenggaran jalan. Pertama, pengembangan jaringan jalan untuk mendukung prasarana transportasi dilakukan secara bertahap melalui peningkatan jaringan jalan pada simpul-simpul yang sudah berkembang.
Kedua, pembangunan jalan baru untuk mendukung simpul transportasi baru disesuaikan dengan kebutuhan dalam rangka menyeimbangkan tingkat penawaran dan jasa transportasi. Ketiga, mengembangkan jaringan jalan untuk mendukung simpul-simpul transportasi agar meningkatkan daya saing dan efisiensi dalam penyediaan pelayanan
Keempat, meningkatkan iklim kompetisi secara sehat dan memberikan alternatif bagi pengguna jasa dengan tetap mempertahankan keberpihakan pemerintah sebagai regulator pelayanan umum. Dan kelima, mendukung pengembangan sistem transportasi nasional yang andal dan berkemampuan tinggi dengan bertumpu pada aspek keselamatan, keterpaduan antar moda/antar sektor/antar wilayah
Sementara, kebijakan pembangunan jalan dan jembatan adalah (1) pemenuhan waktu tempuh 1,9 jam/100 km pada koridor terpilih; (2) pemenuhan arahan major project – Trans Papua dan 18 pulau kecil terluar, (3) peningkatan jalan di Kawasan Perbatasan dalam rangka pertahanan dan keamanan nasional serta memberikan aksesibilitas bagi masyarakat perbatasan; (3) penuntasan pembangunan jalan Pantai Selatan Jawa dalam rangka pemerataan kesejahteraan di wilayah Pulau Jawa, (5) penanganan jalan akses menuju outlet (pelabuhan dan bandara) untuk mendukung jalur logistik nasional.
Selanjutnya, (6) penanganan jalan akses menuju Kawasan Industri (KI), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) khususnya 11 KI Prioritas, 10 DPSP, dan KEK Prioritas; (7) penuntasan missing link pada pulau utama (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi), (8) penanganan jalan di Kawasan Metropolitan dan Perkotaan antara lain melalui pembangunan flyover (FO)/ underpass (UP) dan jalan lingkar untuk mengurai kemacetan; (9) penanganan jalan lintas meliputi Lintas Utama Pulau, Penghubung Lintas, Lintas Barat Sumatera, Lintas Selatan Kalimantan, Lintas Tengah Kalimantan; dan (10) pembangunan Jalan Tol Trans Jawa, Non Trans Jawa, Jabodetabek, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. (*)
Penulis : Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat.