Hari Tani Nasional
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA - Hari Tani diperingati setiap tanggal 24 September tiap tahunnya. Dalam peringatan tahun ini, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama 18 LBH lain mendesak pemerintah dan DPR melaksanakan delapan tuntutan.
Hal itu terkait soal perlindungan dan penghormatan terhadap kedaulatan petani atas tanahnya dan ruang hidupnya. Kedelapan tuntutan tersebut yaitu mendesak agar pemerintah, DPR serta Kementerian dan Lembaga terkait untuk:
Delapan tuntutan tersebut dilatarbelakangi temuan YLBHI soal proyek-proyek strategis nasional (PSN) dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dalam ambisi pembangunannya justru merusak alam dan menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar.
YLBHI mencatat banyak para petani, masyarakat adat, pembela hak asasi manusia dan pejuang lingkungan mengalami kekerasan fisik, non-fisik, dan kriminalisasi dari serangkaian tindakan represif dan penggunaan kekuatan yang berlebihan (Excessive use of force) oleh negara melalui TNI dan Polri.
Padahal mereka hanya berusaha mempertahankan hak atas tanah dan ruang hidupnya, dikutip dari siaran pers YLBHI, Senin 25 September 2023. Munculnya deretan konflik tersebut disebabkan oleh paradigma pembangunan yang berorientasi pada keuntungan ekonomi bukan berbasis hak.
Pembangunan yang menghamba pada investor dan dilegitimasi oleh UU Cipta Kerja serta turunannya, UU Minerba, dll yang dibuat secara sewenang-wenang dan melanggar konstitusi. Pemerintah juga melegalkan perampasan-perampasan tanah rakyat atas nama Hak Pengelolaan atau klaim tanah negara.
Pembangunan-pembangunan tersebut dinilai sarat akan konflik kepentingan bisnis dan politik serta penyelesaian konflik menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan. “Di sisi lain, kebijakan terkait reforma agraria rezim Jokowi disimplikasi dengan bagi-bagi tanah, bukan pada substansi perombakan struktur timpang penguasaan lahan,” demikian pernyataan YLBHI.
Menurut YLBHI, konflik-konflik agraria disertai dengan kekerasan terhadap rakyat tersebut telah berdampak struktural pada pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Hal itu sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang ratifikasi ICESCR.
Hak tersebut meliputi antara hak atas integritas fisik, kebebasan berekspresi, hak atas rasa aman, kebebasan bergerak, persamaan dan perlindungan hukum, hak atas tempat tinggal, hak atas sandang dan pangan, pekerjaan, hak pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan lingkungan hidup.
Hilangnya hak-hak dasar tersebut berakibat pada penurunan kualitas hidup layak warga negara, kemiskinan yang memburuk, ketimpangan ekonomi dan sosial, hingga kehilangan harapan hidup.
YLBHI mencatat luas wilayah yang berkonflik adalah ±800.000 hektare dengan lebih dari satu juta rakyat menjadi korban. Dari luas tersebut 106 konflik agraria dan PSN ditangani YLBHI-LBH kantor di seluruh Indonesia. Rinciannya 42 kasus dari sektor perkebunan disusul sektor pertambangan sebanyak 37 kasus dan kemudian 35 kasus dengan PSN
Sebab terjadinya konflik pada sektor perkebunan yaitu warisan ketimpangan penguasaan lahan yang tidak pernah terselesaikan dan melibatkan dua aktor yang kuat, negara melalui perkebunan PTPN dan swasta memiliki HGU skala luas.
Sementara itu, sektor PSN yang baru muncul tujuh tahun terakhir menempati posisi ketiga karena negara beserta kekuatan represif tampil sebagai pemain utama dalam konflik.
Terkait subjek, YLBHI memetakan soal hal tersebut dimana Perusahaan swasta terlibat dalam 100 konflik, pemerintah daerah terlibat dalam 74 konflik, dan Polri terlibat dalam 50 konflik. Sebab swasta banyak berkonflik karena warisan penguasaan HGU dan sebagainya.
Sedangkan pemerintah dan Polri sebab berada dalam bagian paling depan jika terdapat konflik. Kemudian dari segi perbuatan, tercatat sebanyak 134 tindak kekerasan dengan pola yang berbeda.
Pola tersebut terbagi dalam tiga garis besar yaitu pertama adalah pola kekerasan dalam bentuk lisan seperti intimidasi dan dalam bentuk fisik seperti penganiayaan hingga penyiksaan sejumlah 48 kasus (40 intimidasi dan 8 kekerasan fisik).
Kedua pola pecah belah sebanyak 43 kasus dan pola kriminalisasi sebanyak 43 kasus. Ketiga pola tersebut biasanya diterapkan secara berkaitan antara satu dengan lainnya. Dari 43 kasus kriminalisasi, terdapat 212 orang petani yang menjadi korban.
Upaya kriminalisasi paling banyak menggunakan produk hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan 29 kasus. Kemudian diikuti oleh UU Minerba dengan 7 kasus, UU 39 Tahun 2014 dengan 4 kasus. UU No 18 Tahun 2013 dengan 3 kasus. UU ITE 2 kasus dan UU Anti Marxisme-Leninisme dengan 1 kasus.
YLBHI juga menyoroti upaya kriminalisasi petani dalam agenda PSN yang berada di wilayah 18 LBH Kantor. Terdapat 35 titik PSN menelan 35 korban petani yang dikriminalisasi.
Para korban dari petani ini berasal dari 5 provinsi/kota, yaitu: Jawa Tengah, Jawa Barat, Padang, Makassar, dan Manado. Kriminalisasi terbanyak dalam proyek PSN terjadi di Jawa Tengah (10 kasus) dan Padang (10 kasus).
Dilihat dari dasar hukum kriminalisasinya, hampir semuanya didasari oleh produk hukum KUHP. Pertama, pasal 362 yang memuat delik pidana “pencurian”. Kedua, Pasal 333 yang memuat delik pidana perampasan kemerdekaan orang lain. Ketiga, pasal 170 yang memuat delik pidana kekerasan terhadap orang atau barang.
Kemudian keempat, Pasal 154a yang memuat delik penodaan lambang negara. Kelima, pasal 406 yang mengatur delik pengrusakan properti orang lain. Dan terakhir, adalah pasal 27 UU ITE yang memuat delik pencemaran nama baik.(*)