Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi
LAMPUNG – Pengembangan energi geothermal belum mampu menjadi pilihan utama dalam transisi energi baru terbarukan (EBT) menyusul banyaknya energi alternatif lain yang lebih ekonomis dan efisien.
Pernyataan tersebut terlontar dari Ekonom dan Praktisi Pasar Modal Lucky Bayu Purnomo. Ia mengamati sisi fundamental PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang baru saja melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan mengantongi dana IPO sebesar Rp9,05 triliun.
“Melihat bahwa perseroan mempunyai tantangan untuk mempopuliskan energi hasil panas bumi, terutama bagi sektor industri. Jangan bangga dulu kalau hari ini PGEO dikenal publik melalui IPO, persoalannya apakah market share dan market cap perseroan bertambah?,” katanya kepada wartawan, Kamis, 2 Maret 2023.
Sejujurnya, papar Lucky, sentimen pasar tidak mendukung anak usaha Pertamina itu untuk IPO. “Kita tahu sendiri kalau dahulu orang-orang beli saham BUMN dengan maksud ada bekingan, yakni pemerintah karena ada persepsi pemerintah tidak mungkin default,” ujar peraih gelar doktor ekonomi Trisakti itu.
Toh perseroan sudah menulis dalam prospektusnya bahwa industri panas bumi tidak memiliki metodologi yang dibakukan sebagai standar tunggal secara internasional mengenai cara data cadangan sumber daya panas bumi diperkirakan, dicatat dan disertifikasi.
Oleh sebab itu, penentuan cadangan sumber daya panas bumi merupakan kegiatan yang bersifat probabilistik atau kemungkinan sehingga tidak terdapat jaminan bahwa data cadangan sumber daya panas bumi perseroan dapat mencerminkan hasil aktual yang dimiliki perseroan secara akurat.
Ruang gerak saham PGEO, lanjut Lucky, masih dapat mengalami pelemahan karena dilihat dari range harga Rp875 – Rp830. “Artinya ruang gerak rasionalnya bisa pada rentang Rp800 di level bawah. Sementara dari pasar juga minim apresiasi atas saham PGEO.”