Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA - Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP) Kementerian Pertanian, Batara Siagian pada Rabu, 6 Desember 2023 di Jakarta menyampaikan tiga indikator penting untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Batara menyebutkan ketiga indikator tersebut adalah benih berkualitas, kedua ketersediaan air, dan ketiga pupuk.
Batara menjelaskan kebutuhan air untuk lahan pertanian berbeda-beda sesuai dengan tipologi lahan yang ada. Tipologi tersebut meliputi lahan irigasi, lahan rawa, lahan tadah hujan, serta lahan kering masing-masing memerlukan perlakuan yang berbeda dalam penggunaan air.
Sedangkan mengenai pupuk, Batara menyatakan ketergantungan terhadap pupuk juga terkait dengan kebijakan masa lalu, yang memiliki dampak terhadap kebutuhan impor dan ketersediaan pupuk di dalam negeri.
"Ibaratnya kalau kita bicara masa lalu, ketika penyediaan pupuk anorganik itu masif, maka kita jadi ketergantungan. Sehingga ketika ada perang Rusia-Ukraina, karena bahan baku impor, maka jadi masalah. Kalau begini terus maka kita harus mengembangkan pupuk lokal," jelas Batara dikutip dari Antara.
Peneliti Nagari Institute dari UI Dian Revindo perlu dilakukan analisis mendalam terhadap masalah produktivitas dalam sektor pertanian. Hal tersebut melibatkan sejumlah aspek termasuk kurangnya minat generasi muda terhadap pertanian, kondisi sosial dan ekonomi petani, serta luasnya alih fungsi lahan pertanian.
Revindo menyoroti pengaruh pasar global terhadap produk pertanian Indonesia, sementara petani di dalam negeri kurang fokus pada hasil pertanian yang menjadi andalan lokal.
Revindo juga merekomendasikan agar petani kecil tidak tergoda untuk menjual tanah mereka. Menurutnya, jika lahan pertanian telah berubah menjadi komoditas, fungsi utama lahan tersebut akan berkurang, sehingga diperlukan dorongan untuk meningkatkan kerja sama dalam pertanian.
Revindo menambahkan sementara keberlanjutan pertanian menjadi tujuan bersama, prioritas saat ini adalah meningkatkan produktivitas pertanian, diikuti oleh langkah-langkah untuk mewujudkan pertanian yang lestari di masa depan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterbitkan pada 16 Oktober 2023 lalu, realisasi panen padi dalam periode Januari-September 2023 sebesar 8,66 juta hektare atau mengalami penurunan sekitar 33,04 ribu hektare dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang mencapai 8,69 juta hektare.
Sementara itu, potensi luas panen padi pada Oktober-Desember 2023 diperkirakan sekitar 1,54 juta hektare. Dengan demikian, total luas panen padi pada 2023 diperkirakan sebesar 10,20 juta hektare atau turun sekitar 255,79 ribu hektare dibandingkan luas panen padi pada 2022 dengan luas 10,45 juta hektare.
Produksi padi di Indonesia sepanjang Januari-September 2023 diperkirakan turun sekitar 105,09 ribu ton gabah kering giling (GKG) menjadi sebesar 45,33 juta ton GKG dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar 45,43 juta ton GKG.
Berdasarkan amatan fase tumbuh padi hasil Survei Kerangka Sampel Area (KSA) September 2023, potensi produksi padi sepanjang Oktober-Desember 2023 sebesar 8,30 juta ton GKG. Total produksi padi pada 2023 diperkirakan sebesar 53,63 juta ton GKG atau turun sebanyak 1,12 juta ton GKG dibandingkan 2022 yang sebesar 54,75 juta ton GKG.
Tiga provinsi dengan total produksi padi GKG tertinggi pada 2023 adalah Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sementara itu, tiga provinsi dengan produksi padi terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Papua Barat
Penurunan produksi padi yang cukup besar pada 2023 terjadi di beberapa wilayah sentra produksi padi seperti Provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Di sisi lain, terdapat beberapa provinsi yang mengalami peningkatan produksi padi cukup besar, misalnya Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Tengah.