Sering Disebut Lebih Sehat dari Minyak Sawit, Apa Manfaat Minyak Kelapa?
Yunike Purnama - Senin, 25 September 2023 09:55BANDARLAMPUNG - Meski banyak yang menganggap minyak kelapa sehat untuk dikonsumsi dan baik untuk tubuh, nyatanya penelitian menunjukkan hal yang sebaliknya.
Penelitian yang dipublikasikan dalam the Journal of Functional Foods dengan menggunakan tikus sebagai percobaan menunjukkan bahwa minyak kelapa dapat mengganggu kemampuan tikus untuk menggunakan hormon leptin dan insulin.
Untuk diketahui hormon leptin dan insulin penting untuk mengatur pengeluaran energi, rasa lapar, dan cara tubuh menangani lemak dan gula.
Minyak kelapa dosis rendah yang ditambahkan ke dalam makanan tikus selama delapan minggu menyebabkan perubahan metabolisme yang berkontribusi pada perkembangan obesitas dan penyakit penyerta terkait.
- Ratusan Mahasiswa Baru Jalur Karyawan dan Program RPL Ikuti PKKMB 2023
- BPS Buka 347 Formasi PPPK
- OJK Perintahkan Perbankan Blokir Rekening yang Terlibat Judi Online
- Merokok Sambil Berkendara Bisa Dibui 3 Bulan
Dikutip dari Medical Todays temuan ini mendukung hipotesis bahwa pola makan tinggi asam lemak jenuh dapat menyebabkan resistensi leptin. Pada saat resistensi leptin berkembang, jaringan penyimpanan lemak tubuh, yang dikenal sebagai jaringan adiposa putih, juga menjadi kurang responsif terhadap leptin.
Ilmuwan nutrisi Dr. Taylor Wallace memaparkan bahwa menurut pengujian, minyak kelapa dapat mempersulit tubuh untuk merespons hormon penting yang mengatur rasa lapar dan penggunaan energi, setidaknya pada tikus.
“Hal ini berpotensi berkontribusi pada masalah seperti obesitas dan resistensi terhadap insulin, yang merupakan masalah utama diabetes.” lanjutnya.
Meski begitu, relevansi temuan penelitian ini dengan manusia masih belum jelas.
Dr. Wallace menyebutkan ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan perbedaan hasil penelitian pada tikus dan manusia. Diantaranya adalah perbedaan biologis, perbedaan dosis, lingkungan percobaan tikus yang dikontrol ketat dimana tidak memiliki variabel yang ditemukan dalam penelitian pada manusia, keseragaman genetik, sistem hewan pengerat yang lebih sederhana, perbedaan antar spesies hewan pengerat, dan masalah etika.
“Karena faktor-faktor ini,” kata Dr. Wallace. Iya menambahkan, meskipun penelitian terhadap hewan pengerat dapat memberikan wawasan yang sangat berharga dan memandu penelitian lebih lanjut, hal ini biasanya masih dianggap sebagai tahap awal. Mereka dapat menyoroti bidang-bidang potensial yang menjadi perhatian atau manfaat yang perlu dipelajari lebih lanjut pada manusia.”
Dalam tinjauan sistematis yang dikutip oleh Dr. Wallace, hanya 37% penelitian pada hewan yang direplikasi pada manusia, dan 20% diantaranya menunjukkan hasil yang bertentangan.
Dia menambahkan bahwa “setiap temuan biasanya perlu divalidasi melalui uji coba yang ketat dan terkontrol pada manusia sebelum kesimpulan pasti dapat dibuat.” (*)