OJK: Ribuan Kantor Cabang Bank dan Gerai ATM Tutup Imbas Digitalisasi
Yunike Purnama - Rabu, 09 September 2020 13:15
Kabarsiger.com, Bandar Lampung - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan penerapan teknologi layanan jasa keuangan seiring dengan kebutuhan nasabah yang cepat dan efisien justru menimbulkan disrupsi atau sebuah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Tak dapat dipungkiri kondisi ini berdampak pada penutupan ribuan kantor cabang bank dan menurunnya jumlah penambahan gerai anjungan tunai mandiri (ATM).
"Penutupan kantor cabang bank, sejak 2012 atau delapan tahun terakhir itu semakin tinggi. Ribuan kantor bank sudah ditutup, jumlah pembukaan ATM juga semakin menurun, artinya lebih banyak sekarang bank-bank bertransaksi secara elektronik," kata Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital OJK Sukarela Batunanggar dalam webinar dengan Transformasi Perbankan Inovasi dan Kolaborasi, Rabu (9/9/2020).
Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah pimpinan perbankan umum, Sukarela menyimpulkan bahwa sekitar 70 persen sampai 80 persen transaksi perbankan sekarang ini telah dilakukan secara elektronik menggunakan teknologi mutakhir.
Jika tidak melakukan transformasi layanan mengarah ke digitalisasi, bisnis bank akan mulai ditinggalkan nasabah. Kehadiran fintech menjadi tantangan bagi bank untuk mempercepat transformasi layanan dan bisnis ke depannya.
Sayangnya bila dibandingkan dengan fintech, bank justru memiliki mindset dan infrastruktur yang cenderung membatasi perubahan. Sekalipun itu bank-bank besar yang mengeklaim telah mengadopsi metode yang tangkas dan fashionable, ungkap Sukarela, mereka ternyata belum benar-benar melakukan transformasi.
"Jadi artinya, salah satu risiko yang paling besar adalah bisnis as usual, menganggap segala sesuatunya itu masih normal. Padahal kita sekarang sudah tidak normal, bahkan new normal," tukasnya.
Oleh karenanya, Sukarela membagi lima aspek layanan sektor keuangan seiring masifnya penerapan teknologi ke depannya. Pertama kepemimpinan yang tidak hanya memiliki kapasitas secara individual, tetapi harus melakukan pengambilan keputusan secara kolaboratif, sinergi, dan juga menggunakan data untuk mendukung keputusannya.
Kedua model bisnis sektor keuangan yang akan nantinya berbasis platform seperti fintech peer to peer lending. Ketiga memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen yang cepat, mudah, dan efisien.
"Konsumen ke depan itu akan meninggalkan lembaga jasa keuangan yang cenderung bisnis as usual, yang hanya menawarkan produk-produk generik, tabungan, deposito, kredit. Sekarang itu semuanya sudah dibundel jadi satu antara tabungan, deposito, bahkan pinjaman dan social activities. Lebih ke mass personalization," paparnya.
Keempat mengutamakan data, karena data akan menjadi sesuatu yang berharga ke depannya dalam rangka membangun dan membuat analisis yang tepat terkait keputusan yang efektif. Termasuk juga regulasi yang juga memerlukan data dengan mengadaptasi supervisory technology (suptech) dan regulatory technology (regtech) sebagai alat pemantauan penyelenggara teknologi finansial.
"Regulator ke depannya juga cenderung tidak lagi hanya cek kepatuhan terhadap ketentuan, tetapi lebih melihat kepada hasilnya. Yang penting ketahanan industrinya, bukan hanya sekadar cek kepatuhannya saja," tuturnya.
Kelima operasional sektor jasa keuangan ke depannya akan diwarnai dengan digitalisasi, automasi, dan komputasi. "Termasuk juga bagaimana sektor jas6a keuangan merekrut lebih sedikit manusia karena pekerjaan sudah banyak didukung teknologi atau mesin," tutup Sukarela.(KE)