Konflik Lahan PTPN Way Berulu Harus Segera Dihentikan

Yunike Purnama - Kamis, 01 Februari 2024 19:34
Konflik Lahan PTPN Way Berulu Harus Segera DihentikanPersoalan lahan PTPN I Regional 7 (dulu PTPN VII) Unit Kebun Way Berulu yang diduduki oknum yang mengatas namakan warga Desa Tamansari, Gedongtataan, Pesawaran harus segera dihentikan. (sumber: Ist)

BANDAR LAMPUNG - Persoalan lahan PTPN I Regional 7 (dulu PTPN VII) Unit Kebun Way Berulu yang diduduki oknum yang mengatas namakan warga Desa Tamansari, Gedongtataan, Pesawaran harus segera dihentikan.

Pernyataan ini, menjadi bahan diskusi bersama Jaringan Rakyat dan Relawan Perkebunan Nusantara “Ada Juga Lahan PTPN yang Diserobot Warga!”, bertempat di Posko Lembakum yang berada di Bandar Lampung.

Diketahui, konflik itu dibawa ke forum “Tabrak Prof” Cawapres Mahfud MD di Bandar Lampung, Kamis (25/1/2024).

Di tengah kelimun pendukung Pasangan Capres Nomor Urut 03, Fabian Jaya, Kades Tamansari mengaku menduduki lahan seluas 329 hektare secara tidak legal yang selama ini dikelola PTPN VII (sekarang PTPN I Regional 7).

Kepada Mahfud MD, Fabian mengatakan PTPN VII Unit Way Berulu seluas 2.287 hektare terdiri dari empat bidang tetapi hanya mengantongi satu sertifikat HGU. Dengan fakta itu, ia mencurigai perusahaan negara itu menjalankan usaha tanpa didukung legalitas yang jelas. Oleh karena itu, kata dia, mereka  menduduki satu bidang lahan seluas 329 hektare yang berada di wilayah desa yang dia pimpin.

“Kami meyakini PTPN VII menjalankan usaha tanpa hak lahan yang cukup. Dari 2.287 hektare yang dikuasai, hanya 220 hektare saja yang bersertifikat HGU. Salah satu yang tidak ada dokumennya ada di Dusun Tanjung Kemala, Desa Tamansari. Lahan itu sedang kami duduki sejak Juni 2023 lalu,” kata Fabian.

Selain soal legalitas lahan, Fabian juga telah menelisik soal pajak lahan tersebut ke Kantor Pajak. Ia mengaku menemukan bukti bahwa tidak ada pembayaran pajak atas pengelolaan lahan tersebut oleh PTPN VII.

"Kami juga sudah cek ke Kantor Pajak Natar yang ternyata tidak ada bukti bahwa PTPN VII membayar pajak atas lahan tersebut,”  lapor dia kepada Mahfud MD.

Menjawab itu, Mahfud MD yang menyatakan kasus sejenis ini banyak terjadi di PTPN. Kasus yang di PTPN VII ini, kata dia, merupakan salah satu diantaranya. Namun, ia juga mengatakan konflik seperti ini setelah ditelusuri ternyata terjadi sebaliknya.

“Memang kasus masyarakat dengan PTPN ini cukup banyak, diantaranya ya yang disampaikan ini. Tetapi, banyak juga kasus yang ternyata lahan PTPN yang diserobot masyarakat. Kita harus selesaikan secara hati-hati dan fair,” kata dia.

Aktivis dari Jaringan Rakyat (JR) Andi berpendapat membenarkan cerita kronologi yang disampaikan Fabian Jaya. Namun, soal posisi legal formal kasus ini dan permasalahan yang disampaikan, ia membenarkan statemen Mahfud MD yang kedua.

“Soal kronologis kejadian pendudukan itu benar apa yang disampaikan Febiaan Jaya, tetapi soal posisi hukumnya, saya benarkan pernyataan Pak Mahfud MD yang mengatakan ada PTPN yang diserobot warga. Dalam kasus ini, Febian Jaya dan kawan-kawannya yang menyerobot tanah PTPN VII,” kata dia di Bandar Lampung.

Sebagai aktivis, Andi mengaku menelisik dan mempelajari setiap kasus yang muncul dengan seksama. Selain itu, kata dia, ia bersama tim juga mengikuti, mengamati, dan ikut turun ke lapangan untuk menguji kebenaran dan posisi kasusnya.

Andi mengakui sampai saat ini belum mendapatkan dokumen fisik seperti yang dituntut masyarakat. Namun, dari data yang dikumpulkan dari berbagai sumber, PTPN VII sebagai perusahaan negara telah memenuhi syarat minimal melakukan pengelolaan aset negara berdasarkan undang-undang.

Ia menambahkan, lahan PTPN VII Unit Way Berulu sudah terdaftar dalam Portal Asset Kementerian BUMN, eks. Hak Erpacht Perkebunan Belanda yang dinasionalisasi berdasarkan UU No.86 tahun 1958. Yakni tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda dan PP No.19 tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi.

Lahan tersebut telah didaftarkan melalui Kantor Pertanahan Lampung Selatan pada tahun 1965 dan tahun 1980 sesuai ketentuan  yang berlaku. Atas lahan itu, kata dia, dapat dipastikan PTPN VII juga aktif membayar pajak bumi dan bangunan (PBB).

“Kalau kita cermati awal kasusnya, logikanya jadi lucu. Jadi, saat itu manajer Kebun Way Berulu datang ke Kantor Kepala Desa Tamansari untuk meminta surat Sporadik lahan PTPN VII Tanjungkemala yang berada di wilayahnya. Sporadik ini tahapan awal untuk bikin HGU. Mengetahui lahan itu belum HGU, muncullah niat untuk menguasai hingga terjadi seperti sekarang ini,” kata Andi.

Sementara, Indra Relawan Perkebunan Nusantara menyimpulkan, munculnya sengketa ini berawal dari adanya niat yang kurang baik karena oknum tersebut mengetahui salah satu lahan PTPN VII ternyata belum HGU. Menurutnya, tindakan menyerobot itu selain merupakan tindak pidana juga melanggar kepatutan.

“Kalau kita ibaratkan, ada seorang gadis ke Kantor Desa untuk mengurus surat nikah, kan otomatis gadis itu diketahui belum sah pernikahannya karena belum punya surat. Nah, apakah boleh kita langsung gugat bahwa gadis itu milik kita..? Kan enggak begitu, dong. Kasus lahan Way Berulu itu mirip begitu. Dan yang terpenting para pihak harus melihat dampak kerugian yang ditimbulkan baik dari Perusahaan dan masyarakat, terutama dampak sosial yang ditimbulkan dari konfik yang terjadi,” katanya.

Oleh karena itu, hasil diskusi menyarankan agar sengketa ini disudahi dengan cara baik-baik. Peran pemerintah daerah dalam menjembati permasalah sangat diperlukan. Karena jika dibiarkan akan menganggu stabilas politik dan sosial di kabupaten Pesawaran.

“Kalau diteruskan, ini menjadi preseden buruk bagi kita semua,” kata mereka. (*)

Editor: Redaksi
Bagikan
Yunike Purnama

Yunike Purnama

Lihat semua artikel

RELATED NEWS