Invasi Rusia Diprediksi Berdampak Kerapuhan Pasar Keuangan Negara Maju
Yunike Purnama - Selasa, 01 Maret 2022 18:20INVASI Rusia ke Ukraina telah berdampak kepada prospek pemulihan ekonomi global. Hal itu karena konflik itu menjadi yang paling serius dan terbuka sejak 1945 di Eropa. Di tengah situasi dan kondisi yang menegangkan, harga minyak sempat melewati US$100 per barel untuk pertama kalinya sejak 2014, dan gas alam mengalami kenaikan hingga 62%.
"Ketika situasi dan kondisi semakin tidak terkendali, pihak Barat terlihat mengambil langkah setengah hati, karena mereka juga harus berhati-hati supaya sanksi tersebut tidak berdampak terhadap negara mereka sendiri," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, Selasa, 1 Maret 2022.
Saat ini kerentanan utama yang harus diperhatikan adalah inflasi yang tinggi dan pasar keuangan yang semakin rapuh. Rumah tangga akan menghabiskan lebih banyak uang untuk membeli bahan bakar dan lebih sedikit untuk barang dan jasa lainnya. Hal ini akan mendorong mundur tingkat kepercayaan diri akan pemulihan ekonomi, dan tentu akan semakin mempersulit perusahaan untuk mendapatkan dana investasi.
- OPPO Resmi Luncurkan A55, Fitur Unggulan Kamera Ultra 50 Megapixel
- Outstanding Pinjaman Fintech Peer to Peer Lending Lampung Tumbuh 118,22 Persen
- Pertumbuhan Kredit Lampung Triwulan IV 2021 Lebih Tinggi dari Nasional
"Seberapa besar hukuman yang diberikan oleh pihak Barat, dampaknya akan ditentukan oleh seberapa besar dan seberapa panjang cakupannya," kata Nico.
Rusia telah mengatakan bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Skenario pertama, apabila perang berakhir dengan cepat, maka akan dapat menghentikan dampak yang akan terjadi di antara Ukraina dan Rusia. Sehingga prospek pemulihan ekonomi tetap terjaga. Ini merupakan skenario termudah dan diharapkan untuk saat ini.
Skenario kedua, jika konflik berkepanjangan, pihak Barat akan memberikan tekanan yang lebih keras, yang dampaknya akan menyebabkan gangguan terhadap ekspor minyak dan gas dari Rusia. Rambatannya akan memberikan masalah energi yang lebih besar dan akan menjadi pukulan besar bagi pasar global.
Apabila hal itu terjadi, potensi Bank Sentral Eropa untuk menaikan tingkat suku bunga tahun ini mungkin akan menghilang. Apalagi apabila pasokan gas Eropa terputus, memicu resesi, tentu saja The Fed akan jauh lebih dovish.
"Sejauh ini kami mencoba membahas dampak dari Minyak dan Gas. Apabila ternyata pasokan minyak dan gas tidak terganggu, maka harga diperkirakan akan stabil pada situasi kondisi konflik geopolitik saat ini dan pada kondisi keuangan di dunia yang sangat ketat. Namun hal itu tidak akan memberikan tekanan terhadap prospek pemulihan ekonomi global," kata Nico.
Sanksi yang diberikan oleh Presiden AS Joe Biden merupakan yang terberat yang pernah dilakukan. Sejauh ini harga energi merupakan salah satu dampak langsung yang terkena akibat perang antara Ukraina dengan Rusia. Risikonya sangat besar di Eropa, karena Rusia merupakan pemasok utama minyak dan gas.
Kenaikan biaya energi akan memberikan kontribusi terhadap setengah dari tingkat inflasi yang mengalami kenaikan pada bulan Januari 2022. Bagi Amerika, harga bensin yang lebih mahal dan keadaan untuk pengetatan keuangan yang moderat akan menghambat pertumbuhan.
Apabila hal tersebut terjadi, Inflasi diperkirakan akan naik melebihi 8% pada Februari dan diperkirakan pada akhir tahun akan mendekati 5%. Sejauh ini masalah antara Ukraina dan Rusia tidak akan mempengaruhi rencana The Fed untuk menaikan tingkat suku bunga. Terkait dengan gangguan pasokan energi, tentu saja akan membuat inflasi di kawasan Eropa dapat mendekati 4% pada akhir tahun. Namun dampak material terhadap GDP akan tetap terasa. Sehingga kemungkinan Sentral Eropa akan berpikir dovish.
"Pada Bank Sentral Eropa, kami melihat akan tetap menaikan tingkat suku bunga pada akhir tahun. Namun kami perkirakan dengan kecepatan yang lebih lambat," kata Nico.
Apabila pasokan energi terganggu, pastinya akan mendorong inflasi di Amerika menuju 9% pada bulan Maret, dan akan mendekati 6% pada tahun 2022. Pada saat yang sama, gejolak keuangan akan terus berlanjut dan perekonomian akan kembali melemah.
Kenaikan tingkat suku bunga akan tetap dilakukan, namun sama seperti Bank Sentral Eropa, kecepatannya akan berkurang dari sebelumnya. Hal ini belum termasuk mengkalkulasikan apabila Rusia membalas sanksi yang diberikan oleh dunia dengan mematikan aliran gas ke Eropa.
Melihat apabila hal tersebut terjadi, The Fed tidak akan lagi terfokus terhadap pertumbuhan melainkan mempertahankan pertumbuhan tersebut. Namun apabila inflasi kembali mengalami kenaikan dan tidak terkendali, maka The Fed akan menaikan tingkat suku bunga, bahkan sekalipun perekonomiannya mengalami pelemahan," kata Nico.
Berbagai skenario dan dampak akan lebih terasa terhadap negara maju. Sedangkan bagi negara emerging market, akan merasakan dampak dari kenaikan harga komoditas, seperti makanan pokok, gandum dan energi.
- Telkomsel Kembangkan Platform 99% Usahaku, Hadirkan Fitur Pemasokku
- Kemenkeu akan Tawarkan Sukuk Ritel SR016 dengan Kupon 4,95 Persen
- Dukung Keuangan Berkelanjutan, OJK Kembangkan Sistem Pelaporan
Negara emerging market telah mengalami fase pemulihan yang paling lambat di antara semuanya. Sehingga inflasi tinggi dan potensi arus modal keluar akan memberikan tekanan yang lebih besar terhadap prospek pemulihan ekonomi negara-negara ini.
"Pada akhirnya mengenai negara-negara yang akan terkena dampaknya, seberapa siap mereka untuk menanggung luka dan untuk kembali pulih lebih cepat. Itu yang akan menjadi negara tujuan alternatif investasi berikutnya apabila situasi dan kondisi seperti ini masih akan berlangsung," kata Nico. (*)