Indonesia Darurat Payung Hukum Kekerasan Seksual

Yunike Purnama - Sabtu, 24 Juli 2021 14:27
Indonesia Darurat Payung Hukum Kekerasan Seksual (sumber: null)

Kabarsiger.com, BANDARLAMPUNG – Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, tidak menyurutkan semangat The Body  Shop® Indonesia dan Yayasan Pulih untuk terus memperjuangkan keadilan dalam melawan kekerasan seksual.

Kekerasan seksual merupakan kasus yang cukup marak terjadi di mana dan kapan saja. Semua orang memiliki potensi menjadi korban pelaku kekerasan seksual, bahkan berdasarkan penelitian pada umumnya yang menjadi pelaku adalah keluarga atau orang-orang terdekat korban.

Kekerasan seksual adalah setiap tindakan, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki. 

Kekerasan seksual merupakan masalah yang serius dan perlu mendapat perhatian semua pihak serta harus diselesaikan dari hulu ke hilir.

Data SIMFONI PPPA hanya menyebutkan kasus yang dilaporkan saja, namun masih banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan atau diselesaikan di luar hukum karena berbagai pertimbangan.

Hal ini disebabkan oleh banyak hal diantaranya masyarakat hidup dalam budaya patriarki sehingga mudah memberikan stigma terhadap korban kekerasan seksual, keengganan korban untuk melapor karena regulasi dan norma hukum belum banyak berpihak pada korban dan sebagainya.

Meskipun data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa tahun 2020 terjadi penurunan pengaduan korban ke berbagai Lembaga Layanan di masa pandemik COVID-19, Namun kasus kekerasan seksual masih mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan. Situasi ini belum dapat dikatakan sebagai hal yang menggembirakan.

Salah satu dampak dari pandemi Covid-19 membuat korban kekerasan dapat kehilangan akses untuk melaporkan kasus yang dialaminya. Hal ini disebabkan karena korban tinggal di wilayah yang sarana, prasarana komunikasi dan transportasinya tidak mendukung untuk mendapatkan akses layanan serta tidak optimalnya penyedia layanan untuk melakukan penjangkauan selama masa pandemi terjadi.

Dengan demikian, perlu pembenahan dalam support system untuk membantu para korban sekaligus pencegahan dan kampanye bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa yang perlu mendapatkan perhatian serius.

Program psikoedukasi melalui Webinar bertajuk Kekerasan Seksual Support System, Pencegahan, Kampanye dan Hambatan digelar sebagai rangkaian dari Kampanye NO! GO! TELL! yang mengundang pembicara pakar terkait kekerasan seksual.

Program ini dapat diakses masyarakat secara luas melalui platform online. Hal ini dimaksudkan agar pencegahan dan pemulihan korban kekerasan seksual dapat menjangkau makin luas, bersifat masif serta berjangka panjang. 

Ratu Ommaya, Head of Values, Community & Public Relations The Body Shop® Indonesia mengatakan Webinar series kedua bertajuk Kekerasan Seksual: Support System, Pencegahan, Kampanye dan Hambatan diharapkan dapat memberikan psikoedukasi terhadap masyarakat tentang pentingnya penghapusan kekerasan seksual serta akses dan bantuan dalam penanganan korban kekerasan seksual. 

Selama di Indonesia belum adanya payung hukum yang kuat, maka hal yang patut kita lakukan adalah menyediakan ruang aman dan nyaman untuk penyintas dengan memberikan support system seperti mendengarkan korban, memberi perlindungan, memberikan ketenangan, memenuhi kebutuhan praktisnya, menghubungkan dengan sumber sosialnya, dan memberikan informasi bantuan.

“Kami menyuarakan kembali kampanye stop kekerasan seksual  dengan berbagai program dalam rangka mencegah dan menangani korban-korban kekerasan seksual dalam upaya memutus rantai kekerasan terutama pada anak dan perempuan. Salah satu nya melalui program webinar ini yang merupakan scale up kerja sama yang sebelumnya telah dilakukan dan bertajuk NO! GO! TELL! “NO!” adalah memahami apa saja bentuk kekerasan seksual dan berani berkata “TIDAK” jika mengalami kekerasan seksual. “GO!” adalah menjauhi pelaku dan pergi dari tempat yang membuat korban merasa tidak nyaman, dan perlu mencari tempat yang aman bagi para korban. “TELL!” adalah melaporkan kejadian kepada pihak atau orang- orang yang dipercaya korban” ujar Maya. 

Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Si., Dosen FH UI mengatakan kekerasan seksual tidak hanya merugikan korban. Akan tetapi keluarga dan masyarakat juga menderita kerugian karena timbul rasa tidak aman, turunnya produktivitas masyarakat, serta ongkos proses kasus dan biaya pemulihan yang harus dikeluarkan.

Tidaklah tepat melihat kekerasan seksual sebagai persoalan moral dan susila. Tidak tepat juga mengatasi kekerasan seksual dengan menguatkan domestikasi atas perempuan.

Justru harus dilakukan penguatan perlindungan masyarakat dari kekerasan seksual melalui produk peraturan perundangan yang tepat, penguatan kapasitas Aparat Penegak Hukum dan lembaga penyedia layanan, serta pendidikan untuk membangun kesadaran untuk respek atas tubuh dan privasi sejak dini dalam rangka mencegah dan meminimalisir kekerasan seksual.

Gina S. Noer, Pembuat Film, Penulis Buku, dan Creativepreneur mengatakan, kesetaraan gender selalu menjadi kepedulian saya sejak saya masuk ke usia remaja. Namun, seiring saya tumbuh dan menjadi Ibu, muncul kesadaran kalau tidak semua orang paham atau dibesarkan dengan kesadaran atas kesetaraan gender atau dengan pendidikan seks yang baik. Hal ini disebabkan karena sistem sosial budaya dan pendidikan formal kita.

"Menjadi filmmaker membuat saya punya kesempatan untuk membantu membuka ruang diskusi seputar pendidikan seks dan peran gender. Film bisa menjadi pembuka ruang diskusi baik antara anak dengan orangtuanya atau murid dengan gurunya, sehingga mereka bisa mendapat informasi yang benar dan saling mencerahkan, "ujar Gina.

Oleh karena itu, maka proses pembuatan filmnya pun harus diusahakan aman dari pelecehan seksual untuk semua gender yang terlibat. Bersama Wahana Kreator, saya berusaha meningkatkan standar keamanan dan kenyamanan proses bekerja dalam industri film dengan membuat Pakta Integritas Anti Pelecehan Seksual yang harus ditandatangani oleh semua orang yang terlibat dalam sebuah produksi.

Termasuk ada infografis untuk mendampinginya, sebab hal ini perlu untuk mencegah dan memberikan kesadaran kalau kekerasan seksual tidak dapat dinormalisasikan atau dianggap remeh. Kekerasan seksual ada dan nyata di sekitar kita. Jika itu tidak terjadi pada diri kita, bukan berarti itu tidak ada.

KH Marzuki Wahid, MA mengatakan kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan. Dalam Islam, kekerasan seksual termasuk dosa besar (min al-kaba’ir), tindakan yang paling keji dan buruk, yang lahir dari jiwa-jiwa yang sakit dan birahi-birahi rendahan ala binatang di luar nalar logika kemanusiaan.

Kebiadaban kekerasan seksual melebihi rusaknya akibat korupsi. Jika korupsi merusak sistem kehidupan dan masa depan bangsa, maka kekerasan seksual menghancurkan masa depan korban dan keluarganya, serta merusak martabat dan harga diri kemanusiaan yang tidak bisa dipulihkan kembali Na’udzu billahi min dzalik. 

Angka kekerasan seksual dari tahun ke tahun semakin naik. Perangkat UU yang ada sudah tidak memadai. Pelaku masih belum jera. Korban semakin merana, karena dukungan sosial, kebijakan, dan fasilitas yang tidak memadai.

Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU yang sekarang sedang dibahas DPR semakin menemukan relevansi dan keharusannya. Bagi saya, pengesahan RUU P-KS dalam pandangan Islam hukumnya wajib. Jika tidak segera disahkan, maka bangsa ini berdosa jika terjadi kasus-kasus kekerasan seksual.

Dr. Livia Istania DF Iskandar, M.Sc, Psikolog, Pendiri Yayasan Pulih dan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia mengatakan LPSK merupakan lembaga negara mandiri yang menghadirkan negara dalam perlindungan saksi dan korban tindak pidana yang mengalami ancaman.

Kekerasan Seksual adalah salah satu tindak pidana prioritas LPSK yang mencatat kasus kekerasan seksual sebagai salah satu kasus tertinggi dalam hal jumlah permohonan perlindungan.

Seringkali saksi dan/atau korban mengalami ancaman untuk meneruskan ke ranah hukum, oleh karena itu LPSK hadir untuk dapat memberikan perlindungan pada saksi, korban, pelapor, saksi pelaku dan saksi ahli. Hak korban untuk mendapatkan pendampingan selama proses peradilan pidana, untuk mendapatkan bantuan medis serta penguatan dan pemulihan psikologis dan rehabilitasi psikososial secara sandang, pangan, pendidikan dan ketrampilan untuk menata hidup pasca peristiwa pidana perlu untuk disebarluaskan. 

Upaya pencegahan kekerasan seksual tidak mungkin dapat terjadi tanpa memahami siapa saja pelaku kekerasan seksual, yang mana mayoritas pelaku adalah orang yang dikenal oleh korban. Kerjasama saksi dan/atau korban tindak pidana mutlak diperlukan agar sebuah perkara pidana dapat dilanjutkan ke ranah peradilan pidana. 

Penanganan dan advokasi bagi korban kekerasan seksual adalah sebuah kerja lintas sektoral yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, kementerian dan lembaga non struktural lainnya.

Perlindungan saksi dan korban adalah kerja panjang sunyi melintas pulau, lautan lepas serta jalan tak beraspal di tengah kegelapan malam di propinsi atau daerah terpencil di seluruh kepulauan Indonesia. Perjalanan korban untuk mendapatkan keadilan adalah proses panjang dan berliku-liku.

Untuk itu, sangat diperlukan jaminan perlindungan atas hak penanganan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia yang memiliki dasar hukum yang lebih komprehensif seperti yang selama ini diperjuangkan untuk segera disahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. 

Sebagai catatan UU No. 31/2014 tentang Perlindungan Saksi Korban sudah meliputi hak saksi korban tindak pidana termasuk untuk tindak pidana kekerasan seksual, namun tetap diperlukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang lex spesialis. (*)

Editor: Yunike Purnama
Yunike Purnama

Yunike Purnama

Lihat semua artikel

RELATED NEWS