IMF: Negara Berkembang Harus Bersiap Hadapi Pengetatan The Fed
Yunike Purnama - Selasa, 11 Januari 2022 13:38DANA Moneter Internasional (IMF) memperingatkan potensi gangguan dari pengetatan moneter bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) terhadap perekonomian negara berkembang. Bank sentral AS diperkirakan menaikkan bunga acuan hingga empat kali merespons tekanan inflasi yang meluas.
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan semakin kuat, sedangkan inflasi akan moderat pada tahun ini. Kondisi ini akan mendorong The Fed memperketat kebijakannya secara bertahap sehingga tekanan ke negara berkembang tidak akan signifikan.
Meski begitu, lembaga keuangan global ini juga memperingatkan efek limpahan dari pengetatan moneter The Fed bisa 'kurang ramah ramah'. Ini karena belum rampungnya gangguan pasokan dan inflasi upah AS yang dapat menekan harga-harga lebih tinggi. Kondisi tersebut dapat mendorong The Fed mengambil langkah lebih agresif.
"Kenaikan suku bunga Fed yang lebih cepat sebagai respon dapat mengguncang pasar keuangan dan memperketat kondisi keuangan secara global. Perkembangan ini bisa datang dengan perlambatan permintaan dan perdagangan AS, serta menyebabkan arus keluar modal dan depresiasi mata uang di pasar negara berkembang," kata IMF dalam situs resminya dikutip Selasa (11/1/2022).
- Menkeu Minta 3 Hal Ini Dievaluasi dalam Pengelolaan APBD
- LinkedIn akan Luncurkan Fitur Audio Interaktif Mirip Clubhouse
- Apple Disebut Segera Rilis iPhone SE 3 pada Maret
IMF juga memperingatkan, dampak dari pengetatan moneter ini berpotensi lebih parah bagi negara berkembang yang tergolong rentan. Ini terutama bagi mereka yang memiliki utang publik dan swasta tinggi, eksposur valuta asing dan saldo transaksi berjalan yang lebih rendah. Negara-negara tersebut telah mengalami pergerakan mata uang terhadap dolar yang drastis.
"Kombinasi dari pertumbuhan yang lebih lambat dan kerentanan yang meningkat dapat menciptakan putaran umpan balik yang merugikan bagi ekonomi seperti itu," ujar IMF.
IMF memberikan catatan bahwa negara berkembang harus menyesuaikan respons mereka berdasarkan kondisi dan kerentanan masing-masing. Bagi negara yang memiliki kredibiltas kebijakan dalam menahan inflasi, maka pengetatan moneter bank sentralnya bisa dilakukan bertahap. Sementara bagi negara yang tekana inflasinya sangat kuat dan kredibilitas institusinya masih lemah, maka harus bertindak cepat dan komprehensif.
Dalam kedua kondisi tersebut, menurut IMF, bank sental harus merelakan mata uangnya terdepresiasi dan menaikkan suku bunga acuan.
"Jika dihadapkan pada kondisi volatilitas di pasar valas, bank sentral dengan cadangan devisa yang cukup dapat melakukan intervensi asalkan intervensi ini tidak menggantikan jaminan penyesuaian untuk makroekonomi," ujar IMF.
Negara berkembang juga diminta untuk memperjelas komunikasi dan konsistensi dari rencana kebijakannya. Jika memungkinkan, negara dengan tingkat utang tinggi dalam valas juga perlu melakukan hedging atau lindung nilai. Ini untuk mengurangi risiko rollover atau jatuh tempo utang juga harus diperpanjang serta perlunya memulai penyesuaian fiskal yang lebih cepat.
IMF juga menilai, respons terhadap pengetatan The Fed oleh negara-negara berkembang juga perlu dilakukan dari sisi kebijakan fiskal. Hal ini perlu dilakukan dengan meningkatkan pendapatan pajak, efisiensi pengeluaran,atau menerapkan reformasi fiskal struktural seperti perbaikan pensiun dan subisdi.
The Fed dalam risalah rapat pembuat kebijakan edisi Desember yang dirilis pekan lalu menunjukkan bank sentral terbesar dunia itu kemungkinan menaikkan bunga acuan tiga kali tahun ini. Ini disamping rencana percepatan tapering off yang rencananya berakhir Maret.
Namun dengan perkembangan yang ada, ekonom mulai mengantisipasi The Fed akan lebih agresif lagi. "Kami terus melihat kenaikan bunga acuan pada bulan Maret, Juni dan September, dan sekarang telah menambahkan kenaikan pada bulan Desember dengan total kenaikan hingga empat kali pada tahun 2022," kata Kepala Ekonom Goldman Sachs dikutip dari CNBC Internasional.
Perkiraan ini sejalan dengan ekspektasi pasar sebagaimaan terpantau melalui alat FedWatch CME. Sekitar 80% investor memperkirakan kenaikan suku bunga acuan pertama akan dimulai Maret, tepat setelah quantitative easing berakhir. Selain itu, sekitar 50% pasar juga memperkirakan kenaikan bunga acuan yang keempat akan dilakukan di Desember.(*)