"Ekologisme Batur" dan Upaya Pemeliharaan Alam Fisik, Bahasa, dan Budaya

E. Ariana - Jumat, 21 Mei 2021 08:57
"Ekologisme Batur" dan Upaya Pemeliharaan Alam Fisik, Bahasa, dan BudayaDiskusi virtual Sharing Session "Bedah Buku Ekologisme Batur: Soal Teks dan Alam Ekologis" (sumber: Balinesia.id)

Denpasar, Balinesia.id - Upaya penyelamatan lingkungan fisik, bahasa, dan budaya Batur menjadi sajian utama yang diungkap dalam buku "Ekologisme Batur" karya penulis muda, IK Eriadi Ariana (Jero Penyarikan Duuran Batur).

Hal itu dinyatakan akademisi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Kadek Sonia Piscayanti, S.Pd., M.Pd., dalam diskusi virtual, Sharing Session "Bedah Buku Ekologisme Batur: Soal Teks dan Alam Ekologis" digelar Warmadewa Research Centre (WaRc), Kamis (20/5/2021). Dengan pendekatan ekofeminisme, ia menilai buku terbitan Mahima Institute Indonesia (2020) ini sebagai upaya menyelamatkan Batur sebagai sumber kehidupan yang mengayomi Bali.

"Buku ini dari sisi ekofiminisme dapat dibaca sebagai ekofeminisme dari segi fisik, yakni menjaga alam; ekofeminisme dari segi bahasa, yakni menjaga teks dan konteks; serta ekofemisme budaya yakni menjaga alam pikir, bahasa, dan prilaku," kata Sonia dalam diskusi yang juga dinarasumberi akademisi Universitas Udayana, Putu Eka Guna Yasa, S.S., M.Hum., serta dimoderatori Peneliti WaRC/Antropolog, I Ngurah Suryawan.

Menurutnya, buku tersebut hadir sebagai respons terhadap teks-teks lama. Kelahirannya pada akhirnya juga turut serta menjaga kekayaan bahasa daerah. "Ketika membaca Ekologisme Batur, ada upaya dari penulis untuk menjaga peta bahasa. Ada banyak bahasa yang bagi orang awam sangat asing, dan jika tak memahami konteksnya, ia tidak akan mengerti. Ini merupakan langkah pelestarian bahasa," terangnya.

Selain itu, upaya menjaga narasi agar kisah-kisah yang hidup di kawasan Batur dapat terpelihara juga sangat kental dalam buku tersebut. Narasi-narasi tersebut tampak dihadirkan dengan produksi bertingkat-tingkat. Teks diproduksi, didekonstruksi, kemudian diproduksi kembali.

Sementara itu Guna Yasa, menjelaskan bahwa buku yang memuat 18 esai ini memiliki posisi strategis dalam dinamika literasi Bali, khususnya terkait ruang pikir kebudayaan masyarakat Bali Pegunungan. "Penulisnya sendiri menyatakan kehadiran buku ini sebagai persembahan aksara dari seorang Penyarikan Sakala (juru tulis adat, red) kepada dewata bergelar Ida Bhatara Gede Penyarikan di alam niskala yang telah mempercayakannya untuk menjadi juru surat sepanjang hayat," terang dosen Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ini.

Penukisan buku tersebut tampak dilatari kesenjangan pengetahuan leluhur yang simbolis dalam wujud mitos, artefak, ritus, hingga situs. Hal-hal ini, sekarang cenderung tidak mampu dipahami komprehensif oleh pewarisnya. Ritus dan artefak dari waktu ke waktu semakin hilang otensitasnya karena kenyamanan dan dan penyamaan. Dari semua itu, yang paling mengerikan adalah ritus. Sudah jadi rahasia dan kekhawatiran umum, bahwa upacara cenderung hura-hura. Upacara yang kaya wujud ternyata miskin arti.

"Pernyataan yang dituliskan dalam Ekologisme Batur itu menunjukkan sebuah kegundahan seorang pewaris kebudayaan terhadap apa yang diwarisinya kini," kata Guna Yasa.

Guna menganalisa penyusunan buku Ekologisme Batur menggunakan tiga cara penulisan, yakni sastratah (berdasarkan teks sastra), gurutah (berdasar uraian guru), dan swatah (berdasar pengalaman pribadi). "Rujukan-rujukan teks mayor yang digunakan sebagai dasar penulisan di antaranya Raja Purana Pura Ulun Danu Batur, Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, Kakawin Usana Bali Mayantaka, dan Babad Kayu Selem," katanya.

Sementara, gurutah didasarkan pada uraian-uraian yang dinyatakan para guru, sedangkan swatah didasarkan pada pengalaman penulis. "Penulis dalam buki ini tampak memposisikan diri sebagai penghayat sekaligus peneliti," katanya.

Secara isi, buku ini dibentuk dari tiga tema besar, yakni tulisan yang bersifat ritualistis, tulisan bersifat etis, dan ada yang bersifat filosofis. Tulisan-tulisannya penulis tampak berupaya menggali makna-makna baru yang kemudian disesuaikan dengan kondisi saat ini. "Kehadiran buku ini pada akhirnya memposisikan dirinya sebagai salah satu rujukan yang patut dibaca jika ingin menelusuri Batur," katanya. jpd

RELATED NEWS