Presiden Resmikan UU HPP, NIK KTP Sah Menjadi NPWP

Yunike Purnama - Kamis, 04 November 2021 16:09
Presiden Resmikan  UU HPP, NIK KTP Sah Menjadi NPWPIlustrasi KTP (sumber: trenasia.com)

JAKARTA - Nomor Induk Kependudukan (NIK) di KTP telah resmi menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menandatangani Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang (UU) pada tanggal 29 Oktober 2021.

UU HPP terdiri dari sembilan bab memiliki enam ruang lingkuppengaturan, yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, serta Cukai.

"Selain itu, UU HPP juga mengatur dua hal utama yaitu asas dan tujuan. UU ini diselenggarakan berdasarkan asas keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor dalam keterangan resmi Kamis(4/11/2021). 

Dia mengatakan bahwa perubahan UU PPh berlaku mulai Tahun Pajak 2022, perubahan UU PPN berlaku mulai 1 April 2022, perubahan UU KUP berlaku mulai tanggal diundangkan, kebijakan PPS berlaku 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022, Pajak Karbon mulai berlaku 1 April 2022, dan perubahan UU Cukai berlaku mulai tanggal diundangkan.

Adapun Ruang Lingkup Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut:

• Pemberlakukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) dengan tetap memperhatikan syarat subjektif dan objektif.

• Penurunan besaran sanksi dan pengenaan sanksi dengan menggunakan suku bunga acuan dan uplift factor pada saat pemeriksaan dan WP tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)/membuat pembukuan.• Kesetaraan pengenaan sanksi melalui penurunan sanksi terkait permohonan keberatan atau banding WP.

• Pengaturan asistensi penagihan pajak global.

• Pengaturan pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP) agar dapat berjalan secara simultan dengan proses keberatan atau banding.

• Kewenangan pemerintah untuk melaksanakan kesepakatan di bidang perpajakan dengan negara mitra secara bilateral maupun multilateral.

• Penegakan hukum pidana pajak dengan mengedepankan ultimum remidium melalui pemberian kesempatan kepada WP untuk mengembalikan kerugian pada pendapatan negara bahkan hingga tahap persidangan.(*)

Editor: Yunike Purnama
Yunike Purnama

Yunike Purnama

Lihat semua artikel

RELATED NEWS