Cara Sederhana Pahami Istilah Analisis Fundamental Perusahaan bagi Investor Saham Pemula

Fajar Yusuf Rasdianto - Rabu, 25 November 2020 07:26
Cara Sederhana Pahami Istilah Analisis Fundamental Perusahaan bagi Investor Saham Pemula<p>Karyawan melintas dengan latar belakang layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jum&#8217;at, 6 November 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p> (sumber: 2020/11/IHSG-Ditutup-Menguat-5.jpg)

JAKARTA – Memahami analisis fundamental perusahaan sebenarnya gampang. Hanya terkadang, bahasa dan penjelasannya saja yang terlalu rumit. Padahal analisis ini amat penting bagi para investor, baik pemula maupun kawakan untuk mengenal lebih dalam saham atau emiten yang akan menjadi tujuan investasinya.

Nah, melalui artikel ini TrenAsia.com bakal menjelaskan analisis fundamental perusahaan dengan cara yang sangat sederhana. Istilah maupun rasio yang dipaparkan akan dijelaskan secara terperinci sehingga Anda akan mudah memahami.

Dalam artikel ini, kami akan menjelaskan beberapa istilah penting yang wajib dipahami dalam berinvestasi saham. Sebab, jika tanpa memahami istilah dalam analisis fundamental ini, maka akan sulit bagi investor untuk mendapat untung dalam investasinya.

Mengapa? Karena saham adalah instrumen investasi berisiko tinggi. Salah-salah, bukan untung yang didapat, melainkan rugi yang justru berlipat.

Berikut ini adalah beberapa poin penting dalam laporan keuangan perusahaan yang wajib investor pahami.

Earning per Share (EPS)

Earning per Share (EPS) dalam bahasa Indonesia disebut laba bersih per saham. Sederhananya, EPS adalah hasil pembagian antara laba bersih perusahaan dengan jumlah saham beredar di suatu emiten.

Rumusnya: EPS = Laba : Jumlah Saham Beredar. Bila EPS bernilai Rp100, artinya setiap lambar saham perseroan ini akan menghasilkan laba Rp100.

Lantas bagaimana cara mengetahui berapa jumlah laba perusahaan dan jumlah saham beredar tersebut? Mudah, investor cukup masuk ke laman IDX.co.id, kemudian di bagian atas laman tersebut akan muncul pilihan kanal yang menyampaikan berbagai informasi emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Dari situ, investor bisa masuk ke kanal “Perusahaan Tercatat”. Di sana akan muncul subkanal “Laporan Keuangan dan Tahunan”. Klik lalu masukkan kode saham atau nama perusahaan, dan pilih tahun serta periodenya.

Misal Anda ingin melihat EPS saham PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), maka cukup tulis kata kunci “TLKM” maka akan muncul laporan keuangan perusahan ini dengan periode dan tahun yang Anda pilih.

Nah, di laporan keuangan itu Anda bisa langsung mencari laba bersih perusahaan. Biasanya, laba bersih perusahaan akan ditulis dengan nama akun “Laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk”.

Jika sudah dapat akun itu, maka Anda tinggal cari jumlah saham perseroan. Akun ini ada di laporan keuangan dengan tajuk “Modal Saham”. Di sana, Anda bisa melihat siapa-siapa saja yang memiliki saham perusahaan, dan berapa jumlah total saham yang beredar.

Tetapi jika mau lebih praktis, Anda bisa langsung buka aplikasi Ipot, Stockbit, maupun RTI Business dalam ponsel genggam. Di Ipot, EPS bisa dilihat dalam kanal “Fundamental” ketika Anda sudah masuk ke laman emiten.

Di Stockbit, EPS tersedia di kanal “Key Statistics” alias statistik kunci. Pun demikian di RTI Business, EPS juga tersedia di kanal “Key Stasticis“.

Cara sederhana mengetahui EPS dengan tiga aplikasi itu juga berlaku untuk rasio-rasio lain yang ada di bawah ini.

Price to Earning Ratio (PER)

Price to Earning Ratio (PER) adalah rasio yang menggambarkan keuntungan sebuah perusahaan jika dibandingkan dengan harga sahamnya. Rumusnya, PER = Harga Saham : Laba per Lembar Saham (EPS).

Rumus ini digunakan untuk menghitung seberapa lama waktu yang dibutukan perusahaan untuk mengembalikan modal yang digunakan untuk membeli saham. Misalnya, saham TLKM saat ini harganya Rp100, sementara EPS-nya Rp20 per tahun.

Maka perhitungan PER-nya adalah Rp100 : Rp20 = 5. Angka 5 itu menandakan tahun yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal. Artinya, perusahaan membutuhkan waktu 5 tahun untuk mengembalikan modalnya. Namun, hal itu hanya berlaku jika EPS perusahaan tidak tumbuh atau susut dalam lima tahun.

Sebab itu, cara menghitung PER pun harus dibagi lagi dalam dua sudut pandang. Pertama, dengan metode Trailing PER atau dengan cara membagi harga saham perseroan dengan EPS tahun sebelumnya. Kedua, Forward PER atau membagi harga saham dengan estimasi EPS di masa mendatang.

Selain digunakan untuk menghitung seberapa lama waktu pengembalian modal, PER juga bisa dipakai untuk melihat apakah harga suatu saham sedang mahal atau murah. Caranya mudah, cukup membandingkan PER emiten tertentu dengan rata-rata PER di industri yang mencakup emiten tersebut.

Misal, emiten pertambangan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM) memiliki PER 5 kali, sementara rerata industri pertambangan adalah 7 kali. Maka dapat dikatakan bahwa saat itu, harga saham ANTM sedang murah. Berlaku sebaliknya jika PER saham ANTM lebih tinggi dibandingkan PER rerata industri pertambangan, maka itu berarti harga sedang mahal.

Alternatifnya, jika malas melihat rerata PER untuk setiap industri, maka Anda cukup melihat patokannya saja. Biasanya, PER yang murah akan berada di bawah 10 kali atau 10 tahun, dan PER yang mahal akan di atas 20 kali.

Price to Book Value (PBV)

PBV adalah rasio untuk menggambarkan seberapa besar pasar menilai harga sebuah perusahaan jika dibandingkan dengan kekayaan bersihnya. Rumusnya adalah PBV = Harga Saham : Nilai Buku per Lembar Saham (BV).

Lantas pertanyaannya, apa itu BV atau nilai buku? Nilai buku adalah hasil pembagian antara ekuitas atau kekayaan bersih dengan jumlah saham beradar.

Maka itu, jika harga saham dibagi dengan BV maka hasilnya adalah PBV. Contoh, harga saham TLKM saat ini Rp100 dan nilai bukunya Rp50 per lembar. Jika dihitung, Rp100 : Rp50 = 2 atau 2 kali lipat. Artinya, saat ini PBV saham TLKM saat ini sudah tumbuh dua kali lipat dibandingkan dengan kekayaan bersihnya.

Nah, begitulah fungsi PBV, yakni untuk melihat seberapa tinggi pertumbuhan harga saham dibandingkan kekayaan bersihnya. Dengan PBV, investor dapat menilai apakah suatu saham sedang dijual murah atau mahal.

Jika harga terlalu tinggi, maka saham tersebut bisa dikatakan mahal. Sebaliknya, jika PBV rendah maka artinya saham itu sedang murah atau undervalued.

Return on Equity (ROE)

ROE adalah rasio untuk menghitung seberapa tinggi persentase laba bersih perseroan jika dibandingkan dengan total ekuitasnya. Rumusnya, ROE = Laba (Bersih : Ekuitas) x 100.

Misalnya, laba bersih TLKM saat ini Rp100 dan ekuitasnya Rp1.000. Maka Rp100 : Rp1.000 x (100) = 10 atau 10%. Berarti saat ini, modal yang ditanamkan perusahaan Rp1.000 bakal memberi keuntungan sebesar Rp100 atau 10%.

Jadi sederhananya, ROE adalah rasio untuk mengukur seberapa efisien suatu perusahaan dijalankan. Tetapi pertanyaannya, bagaiamana cara menilai ROE bagus atau tidak? Ada dua cara.

Pertama, bandingkan ROE perusahaan sejenis dalam industri yang sama atau bisa juga membandingkannya dengan rata-rata ROE industri. Kalau TLKM ada di industri infrastruktur, maka bandingkanlah dengan rerata ROE perusahaan sejenis yang ada di sektor tersebut.

Kedua, bandingkan ROE perusahaan dari waktu ke waktu dengan melihat tren kenaikan dan penurunannya. Jika naik, berarti bagus. Jika turun berarti kurang bagus.

Dua cara tersebut bisa digunakan bersamaan supaya bisa memperoleh analisa yang lebih komprehensif. Carilah saham yang memiliki tren peningkatan ROE stabil dan minimal di atas 10%.

Dividend Yield (DY)

DY adalah rasio untuk menggambarkan seberapa besar persentase pembagian dividen perusahaan kepada para pemegang saham. Rumusnya, DY = (Dividen per Lembar Saham : Harga Saham) x 100.

Lalu dari mana bisa tahu nilai dividen per lembar saham itu? Biasanya, emiten akan mengumumkan pembagian dividennya dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia. Nah, jika Anda ingin menghitung secara manual, maka Anda bisa mencari tahu berapa dividen per lembar saham itu dalam keterbukaan informasi tersebut.

Tetapi jika ingin sederhana, maka tengok saja pada aplikasi Ipot, RTI Business, atau Stockbit. Hanya yang perlu dicatat, tidak semua emiten di BEI memberikan dividen. Biasanya, hanya emiten laba dengan kapitalisasi pasar besar saja yang membagikan dividen.

Semakin besar persentase DY suatu perusahan, maka semakin kuat pula tingkat kestabilan laba perusahaan. Carilah perusahaan yang memiliki DY minimal 3%.

Debt to Equity Ratio (DER)

DER atau dalam kata lain rasio utang terhadap ekuitas. Rasio ini digunakan untuk menghitung kemampuan perusahaan dalam melunasi utang-utangnya. Rumusnya, DER = Total Utang : Ekuitas.

Akun utang ini ada dalam pos kewajiban atau liabilitas. Namun tidak semua kewajiban dianggap sebagai utang. Hanya akun yang berawalan kata ‘utang’ saja yang masuk dalam perhitungan, termasuk utang usaha, utang pajak, utang muka pelanggan, utang bank, dan utang lain-lain.

Misal, Telkom memiliki utang Rp1.000 dan ekuitas Rp500. Maka Rp500 : Rp1.000 = 0,5. Artinya, DER Telkom saat ini hanya 0,5 atau di bawah 1. Itu menunjukkan bahwa perusahaan masih punya kemampuan yang cukup baik untuk membayar utang-utangnya.

Umumnya, rasio utang perusahaan akan disebut tidak sehat jika DER-nya sudah mencapai 2 kali lipat. Lalu bakal semakin mengkhawatirkan jika DER-nya sudah 4 kali lipat.

Maka itu, disarankan kepada investor untuk mencari perusahaan DER yang rasionya masih di bawah 1 atau setidak-tidaknya di bawah 2. (SKO)

Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Lihat semua artikel

RELATED NEWS