APINDO Menilai Perda KTR Bogor Ancam Dunia Industri dan Konsumen

Redaksi - Rabu, 05 Februari 2020 18:12
APINDO Menilai Perda KTR Bogor Ancam Dunia Industri dan KonsumenIlustrasi (sumber: id.pinterest.com)

JAKARTA – Kebijakan pemerintah Bogor mengenai Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) diperkirakan akan berdampak negatif bagi dunia industri dan konsumen rokok. 

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) berharap Mahkamah Agung (MA) dapat mengabulkan gugatan pedagang tradisional terhadap Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Kota Bogor.

Peraturan yang bertentangan dengan berbagai kebijakan tersebut dinilai akan berbahaya bagi kepastian investasi dan bisnis di Indonesia.

Direktur Eksekutif APINDO, Danang Girindrawardana menjelaskan terdapat inkonsistensi regulasi yang termuat dalam Perda KTR Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2018 Pasal 16 Ayat 2 yang memuat larangan pemajangan (display) rokok seperti gugatan yang disampaikan oleh Pedagang.

“Regulasi di pusat tidak ada pelarangan display produk rokok, yang ada adalah mengatur iklan dan promosi. Ini inkonsistensi dan sangat berbahaya bagi iklim investasi karena akan mengacaukan dunia industri dan konsumen,” kata Danang di Jakarta (1/2).

Dampak terbesar yang timbul dari peraturan bermasalah tersebut akan dirasakan para pedagang kecil dan pengasong eceran yang akan kehilangan pekerjaannya. Gangguan terhadap rantai distribusi juga akan berimbas terhadap keberlangsungan industri dan petani tembakau. Akibatnya, bukan hanya pedagang dan peritel yang terimbas, namun potensi pengurangan tenaga kerja juga akan menimpa industri dan petani tembakau sebagai bagian dari rantai produsen.

Persoalan akan semakin rumit manakala Perda KTR Bogor yang bermasalah menjadi acuan pemerintah daerah lain menetapkan kebijakan sejenis. Akibatnya, efek berantai yang ditimbulkan akan semakin luas. Jika seluruh industri hasil tembakau hancur, pemerintah juga berpotensi kehilangan pendapatan negara dari rokok yang kini menjadi penyumbang terbesar penerimaan cukai nasional.

Danang menegaskan, pemerintah pusat tidak boleh membiarkan begitu saja keberadaan berbagai aturan di daerah yang bermasalah, termasuk Perda KTR. Pemerintah pusat, kata Danang, harus turun tangan melakukan advokasi ke daerah untuk tidak menghasilkan regulasi yang bertentangan dengan regulasi di atasnya.

Pembiaran terhadap perda yang melanggar dinilai akan menghilangkan kedaulatan pemerintah pusat, karena seolah mereka kehilangan kewenangan mengontrol pemerintah daerah. “Padahal kita punya sistem ketatanegaraan dimana pemerintah pusat memiliki kewajiban membina pemerintah daerah,” kata Danang.

Kewajiban pembinaan tersebut terletak pada Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pembinaan dilakukan melalui konsultasi atau advokasi terhadap rancangan perda. Rancangan Perda yang tidak sejalan dengan pemerintah pusat semestinya bisa ditolak sejak awal.

Menurut Danang, peraturan yang terlalu segmented di daerah akan membuat iklim usaha tidak sehat. Akibatnya, perkembangan investasi baik yang baru maupun sedang berjalan akan terganggu.

Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership, Yusfitriadi mengatakan pada prinsipnya tujuan regulasi adalah mendorong pemberdayaan dan kemandirian masyarakat, termasuk pedagang kecil menengah dan pedagang tradisional. Tidak hanya pedagang tradisional, Perda KTR juga memberatkan petani tembakau yang selama ini terberdayakan dengan adanya produk-produk hasil tembakau.

Peraturan yang tidak memihak kepada pedagang dan petani dinilai dapat melumpuhkan perekonomian pedagang kecil dan petani tembakau. “Perda KTR tidak seimbang dan tidak pro kepada masyarakat kecil, sehingga banyak yang jadi korban,” ungkap Yusfitriadi.

Dia juga menilai larangan pemajangan produk perlu ditinjau kembali. Khusus gugatan Perda KTR Bogor, Yusfitriadi percaya MA akan melihat kasus ini secara integratif dan komprehensif. “Saya yakin MA akan berpihak pada masyarakat,” pungkasnya.

Bagikan

RELATED NEWS